Monday, October 21, 2013

Logo Kabupaten Bantaeng
Logo Kabupaten Bantaeng
Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang dirinci berdasarkan Lahan Sawah mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan Kering mencapai 32.330 Ha. Secara administrasi Kabupaten Bantaeng terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah penduduk mencapai 170.057 jiwa. Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur sepanjang 21,5 kilometer yang cukup potensial untuk perkembangan perikanan dan rumput laut.
Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.

Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu. Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).

Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.

Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)

Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.

Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.

Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.

Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.

Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.

Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.

Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah).

Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).

Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.

Sunday, October 20, 2013

Logo Kabupaten Banggai Kepulauan
Logo Kabupaten Banggai Kepulauan
Kabupaten Banggai Kepulauan adalah salah satu kabupaten yang terdapat di provinsi Sulawesi Tengah dan beribukota di Salakan, Kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.160,46 km (darat) dan 18.828,10 km (laut), Banggai Kepulauan berbatasan langsung dengan Teluk Tomini di sebelah utara, Teluk Tolo di sebelah selatan, Selat Peling di sebelah barat, serta Laut Maluku di sebelah timur. Jumlah Penduduk Banggai Kepulauan (Bangkep) sebanyak 158.617 jiwa (2009). Secara administratif, Kabupaten Banggai Kepulauan terdiri dari 19 kecamatan, 6 kelurahan dan 187 desa yang terdiri atas 342 pulau dengan 5 pulau sedang yakni Pulau Peleng (luas 2.340 km²), Pulau Banggai (268 km²), Pulau Bangkurung (145 km²), Pulau Bokan Kepulauan (84 km²), Pulau Labobo (80 km²) dan 337 pulau-pulau kecil. Panjang pantai 1.714,218 Km.

Banggai Kepulauan terdiri dari gugusan atau rangkaian pulau-pulau berukuran sedang dan kecil sejumlah 121, lima diantaranya berukuran sedang, sisanya kecil-kecil bahkan ada yang berwujud batu karang, mencuat ke permukaan. Laut yang mengelilinginya merajut tebaran pulau itu menjadi satu gugusan yang disebut Banggai Kepulauan. Luas hamparan laut di wilayah ini lima kali lipat dibandingkan dengan luas daratannya.

Kabupaten ini sebelumnya merupakan kesatuan wilayah dengan Kabupaten Banggai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 menetapkan pulau-pulau di tengah lautan tersebut menjadi daerah otonom Banggai Kepulauan, sementara kabupaten induk tetap disebut Kabupaten Banggai dan pemekarannya disebut Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep).

Sebagai wilayah kepulauan, laut menjadi sektor utama yang selalu dan harus digeluti. Pasalnya, di sanalah terdapat potensi dan kekayaan alam yang pantas diolah dan diusahakan sebagai penopang kehidupan penduduk Bangkep. Laut yang bagi banyak orang terkesan menakutkan bagi kabupaten ini merupakan harapan. Dari sektor kelautan tahun 2002 ditangkap 11.487 ton ikan. Jika dirupiahkan, nilainya Rp 31,6 miliar. Ini belum transaksi atau tangkapan yang tidak tercatat.

Kontribusi perikanan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Bangkep tahun 2002 tercatat Rp 33,3 miliar, atau sekitar 6,8 persen dari total kegiatan ekonomi Rp 491,4 miliar. Perkebunan menyumbang 19,4 persen dan tanaman bahan pangan 18,5 persen. Sektor pertanian khususnya perkebunan juga sangat berpotensi, Andalan perkebunan wilayah ini adalah kelapa, cengkeh, kakao, dan jambu mete, serta buah-buahan seperti langsat, durian dan manggis. Dengan wilayah gografis kepulauan dan laut yang luas, Wilayah Bangkep kaya akan keindahan laut, pantai, dan pulau-pulau kecil yang memesona. Ini tentunya memiliki potensi untuk pengembangan wisata bahari.

Untuk mencapai Bangkep perlu menggunakan berbagai jenis transportasi. Rute perjalanan saya diawali dengan terbang dari Bandara Soekarno-Hatta (kalau dari Jakarta), atau Bandara Juanda (dari Surabaya) menuju Bandara Sultan Hasanuddin di Makasar, biasanya transit kurang lebih 30 menit lalu perjalanan dilanjutkan dengan penerbangan ke Bandara Bubung Luwuk. Dari Kota Luwuk, untuk mencapai Kabupaten Banggai Kepulauan kita menggunakan transportasi "kapal kayu" yang secara reguler beroperasi tiap hari. Jika ingin membayangkan "kapal kayu" hampir sama dengan kapal kayu yang ditumpangi pada saat mau pergi ke kepulauan seribu dari muara angke ke pulau tidung sambil menikmati pemandangan lautnya sangat menyenangkan.

Untuk perjalanan Ke Banggai Kepulauan ada tiga alternatif yang bisa dipilih, pertama rute : Jakarta-Makasar-Luwuk, kedua rute : Jakarta-Palu-Luwuk, ketiga : Jakarta-Makassar-Kendari-Banggai-Bitung. Rute kedua akan memakan waktu lebih lama dari rute yang pertama. Namun jika Anda ingin lebih cepat yaitu melalui rute ketiga dengan KM Sinabung. Karena rute kedua berangkat dari Bandara Cengkareng Jakarta ke Bandara Mutiara Palu tanpa transit, kemudian dari Palu menuju ibukota Kabupaten Banggai Luwuk ditempuh melalui jalan darat (Bus/dengan kendaraan carteran). Memakan waktu kurang lebih 16 jam karena jarak Palu - Luwuk sekitar 350 km. Dari Luwuk ke Pulau Peling, Salakan dengan KMP Lemuru kurang lebih ditempuh 3-4 jam perjalanan. Dari Luwuk ke Pulau Banggai, Banggai dengan KMP Cakalang kurang lebih 6-8 jam perjalanan sedangkan menggunakan "kapal kayu" waktu tempuh antara 8-12 jam. Sedangkan rute ketiga dari Tanjung Priok, Jakarta seminggu sekali pada hari jumat menyinggahi Banggai di Pulau Banggai.
Logo Kabupaten Minahasa Utara
Logo Kabupaten Minahasa Utara
Kabupaten Minahasa Utara (sering disingkat Minut) dengan pusat pemerintahan dan ibukota di Airmadidi, terletak di Provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten ini memiliki lokasi yang strategis karena berada di antara dua kota, yaitu Manado dan kota pelabuhan Bitung. Dengan jarak dari pusat kota Manado ke Airmadidi sekitar 12 km yang dapat ditempuh dalam waktu 30 menit. Sebagian dari kawasan Bandar Udara Sam Ratulangi terletak di wilayah Minahasa Utara.
Logo Kabupaten Minahasa Selatan
Logo Kabupaten Minahasa Selatan
Wilayah Minahasa Selatan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon di Provinsi Sulawesi Utara oleh DPR RI. Namun kedua daerah pemekaran baru ini diresmikan pada tanggal 4 Agustus 2003. Ibukota Kabupaten Minahasa Selatan adalah Amurang.
Logo Kabupaten Takalar
Logo Kabupaten Takalar, Lambang Kabupaten Takalar, Logo Kabupaten Takalar cdr , logo vector Kabupaten Takalar, arti lambang Kabupaten Takalar, gambar Kabupaten Takalar, download logo Kabupaten Takalar, gambar Logo , vektor logo Kabupaten Takalar gratis


ARTI LAMBANG DAERAH KABUPATEN TAKALAR

Lambang daerah Kabupaten Takalar terdiri dari 7 (tujuh) bagian, yang menggambarkan unsur historis patriotik, sosiologis ekonomis yang kaseluruhannya merupakan bagian mutlak yang tidak terpisahkan dari kesatuan negara Republik Indonesia yaitu :

a.    Perisai Segi Lima, melukiskan :
     ::    Perisai sebagai alat pembelaan untuk mempertahankan diri dari marabahaya.
     ::    Perisai sebagai alat pembelaan untuk mempertahankan diri dari marabahaya.
b.    Mata Rantai, yang terbilang 45 biji, mewujudkan :
     ::    Ikatan kekeluargaan yang bersendikan persatuan yang kokoh kuat dan kompak dari massa rakyat Daerah Kabupaten Takalar.
     ::    Terbilang empat puluh lima biji mata rantai melukiskan angka 45, sebagai tahun proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disambut dengan spontanitas massa rakyat daerah ini dengan memproklamirkan diri sebagai salah satu bagian dari negara Republik Indonesia, terlepas dari ikatan apa yang dinamakan “Negara Indonesia Timur”.
c.    Lipan :
     ::    Dua ekor lipan merupakan lambang dari pada kepahlawanan dan semangat patriotik massa Rakyat Kabupaten Takalar, sebagai alat revolusi yang terkenal dengan nama “Lipan Bajeng” yang bersemboyang : Pantang Mundur Menggigit Apabila Diganggu.
     ::    Lipan yang menggambarkan beruas 20 (dua puluh) mewujudkan himpunan dari dua puluh kelaskaran yang tergabung dalam satu wadah perjuangan bernama “LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan) berpusat di Polombangkeng / Kabupaten Takalar pada masa revolusi fisik.
d.    Pohon-Pohonan dan Petak-Petak Sawah :
     ::    Pohon-pohon dan petak-petak sawah, merupakan perwujudan dari pada lambang kemakmuran dan kesuburan tanah Kabupaten Takalar yang menjamin kebahagiaan tata kehidupan masyarakat.
     ::    Tujuh batang pohon menggambarkan pengertian historis dari pada pembentukan Kabupaten Takalar, yang bersumber dari tujuh ex swapraja, yaitu Polombangkeng, Galesong, Sanrobone, Takalar, gabungan Laikang Topejawa dan Pulau-Pulau Tanakeke.
     ::    Delapan petak sawah, melukiskan angka 8 sebagai bulan diproklamirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e.    Gelombang Lautan yang dilukiskan bergelombang tiga, menandaskan bahwa masyarakat Takalar, sebagai alat revolusi tidak mengenal statis dalam perjuangan bahkan senantiasa mengikuti sifatnya lautan yang tidak pernah diam dan senantiasa bergelora, sebagaimana peribahasa makassar yang berjudul : “Bombang Tallua Gallurutamattentaya” yang menjiwai kegiatan dan tata kehidupan masyarakat.
f.    Semboyan yang dituliskan dengan aksara lontara yang berbunyi “PANRANNUANGKU” berarti harapanku atau amanahku merupakan sugesti bagi Pemerintah Daerah dan segenap aparaturnya untuk senantiasa berbuat dan bertindak sesuai dengan amanat penderitaan rakyat.
g.    Nama kabupaten “TAKALAR”



PENJELASAN UMUM :

1. Unsur-unsur historis yang terkandung dalam lambang Daerah Kabupaten Takalar adalah sebagai berikut :
a.     Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dinyatakan dengan :
     1.1.    7 batang pohon + 3 gelombang laut + 7 huruf nama daerah = tanggal 17
     1.2.    8 petak sawah = bulan 8
     1.3.    45 biji mata rantai = tahun 45
b.     Pembentukan Daerah Tingkat II Takalar pada tanggal : 10 Pebruari 1960 dinyatakan dengan :
     1.1.    7 batang pohon + 3 gelombang laut = tanggal 10
     1.2.    2 ekor lipang = bulan 2
     1.3.    45 biji mata rantai + 8 petak sawah + 7 huruf nama daerah = tahun 60
a.     Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dinyatakan dengan :
     1.1.    7 batang pohon + 3 gelombang laut + 7 huruf nama daerah = tanggal 17
     1.2.    8 petak sawah = bulan 8
     1.3.    45 biji mata rantai = tahun 45

2. Komposisi warna yang menjiwai lambang daerah Kabupaten Takalar, diartikan sebagai berikut :

     a.    Hijau = kerukunan, kesuburan dan kemakmuran
     b.    Putih = kesucian dan keikhlasan jiwa raga masyarakatnya
     c.    Merah = keberanian dan kepahlawanan masyarakatnya
     d.    Kuning = kesetiaan dan keluhuran pengabdian masyarakat
     e.    Coklat = ciri khas dari pemerintah dan rakyat kabupaten takalar yaitu pimpinan yang beribawa / bijaksana dan rakyat yang patuh / taat
     f.    Biru = tabah dalam penderitaan ; tabah dalam arena perjuangan ; ulet dalam mengatasi kesulitan.          
Kabupaten Takalar yang hari jadinya pada tanggal 10 Pebruari 1960, proses pembentukannya melalui tahapan perjuangan yang panjang. Sebelumnya, Takalar sebagai Onder afdeling yang tergabung dalam daerah Swatantra MAKASSAR bersama-sama dengan Onder afdeling Makassar, Gowa, Maros, Pangkajene Kepulauan dan Jeneponto.

Onder afdeling Takalar, membawahi beberapa district (adat gemen chap) yaitu: District Polombangkeng, District Galesong, District Topejawa, District Takalar, District Laikang, District Sanrobone. Setiap District diperintah oleh seorang Kepala Pemerintahan yang bergelar Karaeng, kecuali District Topejawa diperintah oleh Kepala Pemerintahan yang bergelar Lo’mo.

Upaya memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Takalar, dilakukan bersama antara Pemerintah, Politisi dan Tokoh-tokoh masyarakat Takalar. Melalui kesepakatan antara ketiga komponen ini, disepakati 2 (dua) pendekatan/cara yang ditempuh untuk mencapai cita-cita perjuangan terbentuknya Kabupaten Takalar, yaitu:

    Melalui Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Swatantra Makassar. Perjuangan melalui Legislatif ini, dipercayakan sepenuhnya kepada 4 (empat) orang anggota DPRD utusan Takalar, masing-masing H. Dewakang Dg. Tiro, Daradda Dg. Ngambe, Abu Dg. Mattola dan Abd. Mannan Dg. Liwang.
    Melalui pengiriman delegasi dari unsur pemerintah bersama tokoh-tokoh masyarakat. Mereka menghadap Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar menyampaikan aspirasi, agar harapan terbentuknya Kabupaten Takalar segera terwujud. Mereka yang menghadap Gubernur Sulawesi adalah Bapak H. Makkaraeng Dg. Manjarungi, Bostan Dg. Mamajja, H. Mappa Dg. Temba, H. Achmad Dahlan Dg. Sibali, Nurung Dg. Tombong, Sirajuddin Dg. Bundu dan beberapa lagi tokoh masyarakat lainnya.

Upaya ini dilakukan tidak hanya sekali jalan. Titik terang sebagai tanda-tanda keberhasilan dari perjuangan tersebut sudah mulai nampak, namun belum mencapai hasil yang maksimal yaitu dengan keluarnya Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1957 (LN No. 2 Tahun 1957) maka terbentuklah Kabupaten Jeneponto-Takalar dengan Ibukotanya Jeneponto. Sebagai Bupati Kepala Daerah yang pertama adalah Bapak H. Mannyingarri Dg. Sarrang dan Bapak Abd. Mannan Dg. Liwang sebagai ketua DPRD.
Para politisi dan tokoh masyarakat tetap berjuang, berupaya dengan sekuat tenaga, agar Kabupaten Jeneponto-Takalar segera dijadikan menjadi 2 (dua)  Kabupaten masing-masing berdiri sendiri yaitu: Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Takalar.

Perjuangan panjang masyarakat Kabupaten Takalar, berhasil mencapai puncaknya, setelah keluarnya Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 1959 (LN Nomor 74 Tahun 1959), tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan dimana Kabupaten Takalar termasuk didalamnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 itu, maka sejak tanggal 10 Pebruari 1960, TERBENTUKLAH KABUPATEN TAKALAR, dengan Bupati Kepala Daerah (Pertama) adalah Bapak H. DONGGENG DG. NGASA seorang Pamongpraja Senior.

Selanjutnya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Takalar Nomor 13 Tahun 1960 menetapkan PATTALLASSANG sebagai IBUKOTA KABUPATEN TAKALAR.

Dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Takalar Nomor 7 Tahun 1990 menetapkan Tanggal 10 Pebruari 1960 sebagai Hari Jadi Kabupaten Takalar.
Logo Kabupaten Sinjai
logo Kabupaten Sinjai
Lambang Daerah Kabupaten Sinjai ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai Nomor 6/PERDA/DPRD-1974 tentang Lambang Daerah berupa perisai bulat panjang dengan ukuran perbandingan tinggi dan lebar adalah 3 : 2, Makna yang terkandung dalam lambang daerah secara umum dapat dideskripsikan sebagai berikut:
  1. Kuda berwarna putih : Gambar ini dilatarbelakangi kondisi masa lalu dimana masyarakat Sinjai sebagian besar menggunakan Kuda sebagai hewan yang paling dominan membantu aktivitas keseharian masyarakat dan bahkan menjadi “kendaraan resmi raja-raja” yang kadang juga digunakan sebagai kendaraan perang. Selain itu kuda, juga melambangkan keperkasaan, ketekunan dan semangat kerja keras yang dimiliki masyarakat Sinjai. Sementara warna putih melambangkan bahwa dalam keperkasaan terkandung makna kesucian dan kejernihan itikad dan motivasi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan kehidupan kemasyarakatan.
  2. Perahu berwarna kuning : selain sebagai alat transportasi utama di perairan Sinjai dikala itu, maka gambaran perahu ini pula masyarakat Sinjai dalam mengarungi perjalanan sejarah yang panjang yang tentunya akan melalui berbagai riak-riak ombak sebagai gambaran tantangan yang akan dihadapi masyarakat dalam mewujudkan harapan Sinjai yang sejahtera.
  3. Perisai bulat panjang dengan warna hijau; Perisai menunjukkan sebagai benteng diri atau kelompok yang dapat divisualisasikan sebagai kuatnya komitmen kelompok untuk menjaga diri dari pengaruh-pengaruh negatif dari perkembangan budaya.
  4. Sementara warna hijau : melambangkan kesuburan bumi dengan segala potensinya, tempat masyarakat Sinjai menggantungkan harapan-harapan hidupnya.
  5. Simpul Pita pada leher kuda merupakan repsentasi 5 (lima) kecamatan (pada awal pembentukan) yang berada dalam sebuah bingkai ikatan kesatuan Kabupaten Sinjai.
  6. Pasak dengan warna putih menggambarkan ikatan kesatuan masyarakat di 38 (tiga puluh delapan) desa se-Kabupaten Sinjai ketika Sinjai resmi dibentuk menjadi sebuah Kabupaten Daerah Tingkat II. Hal ini juga melambangkan kerelaan masyarakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah simpul kesatuan daerah.
  7. Bingkai berwarna hitam melambangkan kebulatan tekad masyarakat Sinjai.
  8. Tulisan SINJAI berwarna putih melambangkan kesucian dan keteguhan dalam perdamaian
  9. Warna dasar kuning melambangkan keagungan nama Sinjai sebagai daerah yang dikenal dengan nama yang harum sebagai Daerah Kabupaten.