Friday, November 1, 2013

Logo/ Pataka Kodam VII Wirabuana
Komando Daerah Militer VII/Wirabuana merupakan Komando Kewilayahan Pertahanan yang meliputi provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Korem 131/Santiago di Manado

Korem 131/Santiago membawahi enam Kodim dan dua batalyon infantri, yaitu:
  • Kodim 1301/Satal
  • Kodim 1302/Minahasa
  • Kodim 1303/Bolmong
  • Kodim 1304/Gorontalo
  • Kodim 1309/Manado
  • Kodim 1310/Bitung
  • Yonif 712/Wiratama
  • Yonif 713/Satyatama

Korem 132/Tadaluko di Palu

Korem 132/Tadulako membawahi empat Kodim dan dua Batalyon Infantri, yaitu:
  • Kodim 1305/Boul Toli-Toli
  • Kodim 1306/Donggala
  • Kodim 1307/Poso
  • Kodim 1308/Luwuk Banggai
  • Yonif 711/Raksatama
  • Yonif 714/Sintu Maroso

Korem 141/Toddo Puli di Watampone

Korem 141/Todopulli membawahi sebelas Kodim dan satu Batalyon Infantri, yaitu:
  • Kodim 1406/Wajo
  • Kodim 1407/Bone
  • Kodim 1409/Gowa
  • Kodim 1410/Bantaeng
  • Kodim 1411/Bulukumba
  • Kodim 1415/Selayar
  • Kodim 1422/Maros
  • Kodim 1423/Soppeng
  • Kodim 1424/Sinjai
  • Kodim 1425/Jeneponto
  • Kodim 1426/Takalar
  • Yonif Ter 726/Tamalatea

Korem 142/Taroada Tarogau berkedudukan di Pare-pare

Korem 142/Taroada Tarogau membawahi 10 Kodim dan satu Batalyon Infanteri, yaitu:
  • Kodim 1401/Majene berkedudukan di Majene
  • Kodim 1402/Polmas berkedudukan di Polewali
  • Kodim 1403/Luwu berkedudukan di Palopo
  • Kodim 1404/Pinrang berkedudukan di Pinrang
  • Kodim 1405/Parepare berkedudukan di Parepare
  • Kodim 1414/Tator berkedudukan di Tator
  • Kodim 1418/Mamaju berkedudukan di Mamuju
  • Kodim 1419/Enrekang berkedudukan di Enrekang
  • Kodim 1420/Sidrap berkedudukan di Sidenreng
  • Kodim 1421/Pangkep berkedudukan di Pangkajene
  • Yonif Ter/721 berkedudukan di Benteng Pinrang

Korem 143/Halu Oleo di Kendari

Korem 143/Halu Oleo membawahi empat Kodim dan satu Batalyon, yaitu:
  • Kodim 1412/Kolaka
  • Kodim 1413/Buton
  • Kodim 1416/Muna
  • Kodim 1417/Kendar
  • Yonif 725/Woroagi

Resimen Induk Militer Kodam VII/Wirabuana

Batalyon

  • Yonif 700/Raider
  • Yon Kavaleri 10/Serbu
  • Yon Armed 6-76/Tamarunang
  • Yon Zipur 8/Sakti Mandraguna
  • Yon Arhanudri 16/BS Maleo (persiapan dari Baterai Arhanudri 141/BS)
  • Yonif 721/Makkasau
  • Yonif 725/Waroagi
  • Yonif 713/Setyatama
  • Yonif 726/Tamalatea
  • Yonif 712/Wiratama
dikutip dari Wikipedia

Thursday, October 24, 2013

Logo Kabupaten Luwu Utara
Logo Kabupaten Luwu Utara
Kabupaten Luwu Utara adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Masamba. Luwu Utara terletak pada koordinat 2°30'45"–2°37'30"LS dan 119°41'15"–121°43'11" BT. Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara, Kabupaten Luwu Timur di sebelah timur, Kabupaten Luwu di sebelah selatan dan Kabupaten Mamuju di sebelah barat.

Kabupaten Luwu Utara yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 tahun 1999 dengan ibukota Masamba merupakan pecahan dari Kabupaten Luwu. Saat pembentukannya daerah ini memiliki luas 14.447,56 km2 dengan jumlah penduduk 442.472 jiwa. Dengan terbentuknya kabupaten Luwu Timur maka saat ini luas wilayahnya adalah 7.502,58 km2.

Secara administrasi terdiri 11 kecamatan 167 desa dan 4 kelurahan. Penduduknya berjumlah 250.111 jiwa (2003) atau sekitar 50.022 Kepala Keluarga yang sebagian besar (80,93%) bermata pencaharian sebagai petani, namun kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Luwu Utara pada tahun 2003 hanya 33,31% atau sebanyak Rp. 4,06 triliun.
dikutip dari wikipedia
Logo Kabupaten Toraja Utara
Logo Kabupaten Toraja Utara
Kabupaten Toraja Utara adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibukotanya adalah Rantepao. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja.

Caretaker Bupati Toraja Utara adalah Drs. Y.S. Dalipang yang dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 26 November 2008 di lapangan Bhakti Rantepao.

Namun dikarenakan Dalipang ikut mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Toraja Utara pada tanggal 11 November 2010, maka Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo melantik Caretaker Bupati Kabupaten Toraja Utara yang baru, yaitu Drs. Tautoto TR, S.H pada bulan Februari 2010 lalu.

Pada tanggal 31 Maret 2011, kabupaten Toraja Utara memiliki bupati dan wakil bupati definitif pertama yaitu pasangan SOBAT, Frederik Batti Sorring sebagai Bupati dan Frederik Buntang Rombelayuk sebagai wakil bupati untuk periode 2011-2016.
dikutipm dari wikipedia
Logo Kabupaten Pangkep
Logo Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (dahulu bernama Pangkajene Kepulauan, biasa disingkat Pangkep) adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibukotanya adalah Pangkajene. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.112,29 km², tetapi setelah diadakan analisis bersama Bakosurtanal, luas wilayah tersebut direvisi menjadi 12.362,73 km2 dengan luas wilayah daratan 898,29 km2 dan wilayah laut 11.464,44 km2.

Kabupaten Pangkep berpenduduk sebanyak ± 250.000 jiwa.

Asal kata Pangkajene dipercaya berasal dari sungai besar yang membelah kota Pangkep. Pangka berarti cabang dan Je'ne berarti air. Ini mengacu pada sungai yang membelah kota Pangkep yang membentuk cabang.
sumber artikel :wikipedia
Logo Kabupaten Soppeng - Watansoppeng
Logo Kabupaten Soppeng
Kabupaten Soppeng adalah salah satu Kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Watansoppeng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.359,44 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 222.798 jiwa (2004).

Sejarah Soppeng diawali dengan munculnya "Tomanurung" dalam istilah bahasa Indonesia dikenal sebagai orang yang muncul seketika. Saat itu, masyarakat Soppeng tengah dilanda kegetiran dan kemiskinan ditambah dengan penderitaan rakyat, maka berkumpullah tokoh-tokoh masyarakat "tudang sipulung" untuk membahas masalah ini, di tengah pembicaraan mereka, seekor burung kakak tua (dalam bahasa Bugis dikenal sebagai "cakkelle"). Cakkelle ini terbang tepat di atas perkumpulan itu, sehingga para tokoh yang melihatnya merasa ada sesuatu yang lain dari cakkelle ini. Akhirnya pimpinan tudang sipulung menyuruh si Jumet, salah seorang toko masyarakat bersama dengan rekannya yang lain untuk mengikuti cakkelle tersebut.
Soppeng terletak pada depresiasi sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan dengan luas daratan ± 700 km2 serta berada pada ketinggian rata-rata antara 100-200 m di atas permukaan laut.

Luas daerah perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.
sumber artikel : wikipedia
Logo Kabupaten Soppeng - Watansoppeng
Logo Kabupaten Soppeng
Kabupaten Soppeng adalah salah satu Kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Watansoppeng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.359,44 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 222.798 jiwa (2004).

Sejarah Soppeng diawali dengan munculnya "Tomanurung" dalam istilah bahasa Indonesia dikenal sebagai orang yang muncul seketika. Saat itu, masyarakat Soppeng tengah dilanda kegetiran dan kemiskinan ditambah dengan penderitaan rakyat, maka berkumpullah tokoh-tokoh masyarakat "tudang sipulung" untuk membahas masalah ini, di tengah pembicaraan mereka, seekor burung kakak tua (dalam bahasa Bugis dikenal sebagai "cakkelle"). Cakkelle ini terbang tepat di atas perkumpulan itu, sehingga para tokoh yang melihatnya merasa ada sesuatu yang lain dari cakkelle ini. Akhirnya pimpinan tudang sipulung menyuruh si Jumet, salah seorang toko masyarakat bersama dengan rekannya yang lain untuk mengikuti cakkelle tersebut.
Soppeng terletak pada depresiasi sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan dengan luas daratan ± 700 km2 serta berada pada ketinggian rata-rata antara 100-200 m di atas permukaan laut.

Luas daerah perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.
sumber artikel : wikipedia
Logo Kabupaten Pinrang
Logo Kabupaten Pinrang
Kabupaten Pinrang adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.961,77 km² dan berpenduduk sebanyak ± 347.684 jiwa.

Asal mula nama Pinrang

Ada beberapa versi mengenai asal muasal pemberian nama Pinrang yang berkembang di masyarakat Pinrang sendiri.

Versi yang pertama menyebut bahwa Pinrang berasal dari bahasa Bugis yaitu kata "benrang" yang berarti "air genangan" bisa juga berarti "rawa-rawa". Hal ini disebabkan oleh karena pada awal pembukaan daerah Pinrang yang tepatnya saat ini di pusat kota kabupaten Pinrang masih berupa daerah rendah yang sering tergenang dan berawa.

Versi kedua menyebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh karena suatu ketika Raja Sawitto yang bernama La Dorommeng La Paleteange, bebas dari pengasingan dari kerajaan Gowa berkat bantuan Baso Panca Arung Enrekang dan dibantu Para Pasukan Pemberaninya dari Kampung Kaluppini Enrekang. Kedatangan tersebut disambut gembira oleh rakyatnya, namun mereka terheran-heran karena wajah sang raja berubah dan mereka berkata "Pinra bawangngi tappana puatta pole Gowa", yang artinya berubah saja mukanya Tuan Kita dari Gowa. Maka setelah itu rakyat mulai menyebut daerah tersebut sebagai Pinra yang artinya berubah, dikemudian hari masyarakat setempat mengubah penyebutan tersebut menjadi Pinrang.

Sumber lain ini mengatakan pemukiman kota Pinrang yang dahulunya rawa-rawa yang selalu tergenang air membuat masyarakat senantiasa berpindah-pindah mencari wilayah pemukiman yang bebas genangan air, berpindah-pindah atau berubah-ubah pemukiman dalam bahasa Bugis disebut "PINRA-PINRA ONROANG". Setelah masyarakat menemukan tempat pemukiman yang baik, maka tempat tersebut diberi nama: PINRA-PINRA.

Dari kedua sejarah yang berbeda itu lahirlah istilah yang sama, yaitu "PINRA", kemudian kata itu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh intonasi dan dialek bahasa Bugis sehingga menjadi Pinrang yang sekarang ini diabadikan menjadi nama dari Kabupaten Pinrang.
[sunting] Masa penjajahan
Seorang guru dan dua gadis ningrat dari Basseang, kecamatan Lembang, Pinrang (tahun 1935)

Cikal bakal Kabupaten Pinrang berasal dari Onder Afdeling Pinrang yang berada di bawah afdeling Pare-Pare, yang merupakan gabungan empat kerajaan yang kemudian menjadi self bestuur atau swapraja, yaitu KASSA, BATULAPPA, SAWITTO dan SUPPA yang sebelumnya adalah anggota konfederasi kerajaan Massenrengpulu (Kassa dan Batulappa) dan Ajatappareng (Suppa dan Sawitto). Hal ini merupakan bagian dari adu domba kolonial untuk memecah persatuan di Sulawesi Selatan. Pemilihan nama Pinrang sebagai nama wilayah dikarenakan daerah Pinrang merupakan tempat berkumpulnya keempat raja tadi dan sekaligus tempat berdirinya kantoor onder afdelingeen (kantor residen). Selanjutnya Onder Afdeling Pinrang pada zaman pendudukan Jepang menjadi Bunken Kanrikan Pinrang dan pada zaman kemerdekaan akhirnya menjadi Kabupaten Pinrang.

Sebagaimana diketahui bahwa ketika Jepang masuk di pinrang sekitar tahun 1943, sistem pemerintahan warisan kolonial dengan struktur lengkap yang terdiri dari 4 (empat) swapraja, masing-masing Swapraja Sawitto, Swapraja Batu Lappa, Swapraja Kassa dan Swapraja Suppa. Ketika Pinrang menjadi Onder Afdeling di bawah afdeling Parepare, sementara afdeling Parepare adalah salah satu dari tujuh afdeling yang ada di provinsi Sulawesi.
Sumber artikel : Wikipedia
Logo Kabupaten Barru
Logo Kabupaten Barru
Kabupaten Barru adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Barru. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.174,72 km² dan berpenduduk sebanyak 159.235 jiwa (2006).
Kabupaten Barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja, yaitu: Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan Tanete, Kerajaan Soppeng Riaja dan Kerajaan Mallusetasi.

Dimasa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda dimana wilayah Kerajaan Barru, Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah Onder Afdelling Barru yang bernaung dibawah Afdelling Parepare. Sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif.

Dimasa awal kemerdekaan

Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Self bestuur di dalam Afdelling Parepare, yaitu:

    Bekas Self bestuur Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi kecamatan Mallusetasi dengan Ibu Kota Palanro, adalah penggabungan bekas-bekas Kerajaan Lili dibawah kekuasan Kerajaan Ajattapareng yang oleh Belanda diakui sebagai Self bestuur, ialah Kerajaan Lili Bojo dan Lili Nepo.
    Bekas Self bestuur Soppeng Riaja yang merupakan penggabungan 4 Kerajaan Lili dibawah bekas Kerajaan Soppeng (Sekarang Kabupaten Soppeng) Sebagai Satu Self bestuur, ialah bekas Kerajaan Lili Siddo, Lili Kiru-Kiru, Lili Ajakkang dan Lili Balusu.
    Bekas Self bestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan Barru dengan lbu Kotanya Sumpang Binangae yang sejak semula memang merupakan suatu bekas kerajaan kecil yang berdiri sendiri.
    Bekas Self bestuur Tanete dengan pusat pemerintahannya di Pancana, daerahnya sekarang menjadi 3 Kecamatan, masing-masing Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Tanete Riaja dan Kecamatan Pujananting.

Perkembangan selanjutnya

Seiring dengan perjalanan waktu, maka pada tanggal 24 Pebruari 1960 merupakan tonggak sejarah yang menandai awal kelahiran Kabupaten Daerah Tingkat II Barru dengan ibukota Barru, berdasarkan Undang-Undang Nomor 229 tahun 1959 tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbagi dalam 7 Kecamatan yang memiliki 40 Desa dan 14 Kelurahan, berada ± 102 Km di sebelah Utara Kota Makassar, ibukota Sulawesi Selatan.

Sebelum dibentuk sebagai suatu Daerah Otonom berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959, pada tahun 1961 daerah ini terdiri dari 4 wilayah Swapraja di dalam kewedanaan Barru, Kabupaten Parepare lama, masing-masing Swapraja Barru, Swapraja Tanete, Swapraja Soppeng Riaja dan bekas Swapraja Mallusetasi. Ibukota Kabupaten Barru sekarang bertempat di bekas ibukota Kewedanaan Barru.

Artikel dikutip dari Wikipedia
Logo Kabupaten Luwu Timur
Logo Kabupaten Luwu Timur
Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Malili adalah ibu kota dari Kabupaten Luwu Timur yang terletak di ujung utara Teluk Bone. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2. Kabupaten ini terdiri atas 11 Kecamatan yakni Kecamatan Malili, kecamatan Angkona, Tomoni, Tomoni Timur, Kalena, Towuti, Nuha, Wasponda, Wotu, Burau dan Mangkutana. Di kabupaten ini terletak Sorowako, tambang nikel yang dikelola oleh INCO, sebuah perusahaan Kanada yang kini berubah nama menjadi PT Vale . Pada tahun 2008, Pendapatan Asli Daerahnya berjumlah Rp. 38,190 miliar. Pendapatan per kapita masyarakat Luwu Timur pada tahun 2005 adalah Rp. 24,274 juta.

Wednesday, October 23, 2013

Logo Kabupaten Tana Toraja
Logo Kabupaten Tana Toraja
Kabupaten Tana Toraja adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan bupati Bernama Theofilus Allorerung. Ibu kota kabupaten ini adalah Makale. Sebelum pemekaran, kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.203 km² dan berpenduduk sebanyak 221 .081 jiwa (2010).

Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008, bagian utara wilayah kabupaten ini dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara.
Kebanyakan masyarakat Toraja hidup sebagai petani.Komoditi andalan dari daerah Toraja adalah sayur-sayuran, kopi, cengkeh, cokelat dan vanili.
Perkenonomian di Tana Toraja digerakkan oleh 6 pasar tradisional dengan sistem perputaran setiap 6 hari. Ke enam pasar yang ada ialah:
  1. Pasar Makale
  2. Pasar Rantepao
  3. Pasar Ge'tengan
  4. Pasar Sangalla'
  5. Pasar Rembon
  6. Pasar Salubarani
Tana Toraja merupakan salah satu daya tarik wisata Indonesia, dihuni oleh Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan.
Buntu Kalando
Tongkonan/rumah tempat Puang Sangalla' (Raja Sangalla') berdiam. Sebagai tempat peristirahatan Puang Sangala' dan juga merupakan Istana tempat mengelola pemerintahan kerajaan Sangalla' pada waktu itu, Tongkonan Buntu Kalando bergelar "tando tananan langi' lantangna Kaero tongkonan layuk". saat ini Tongkonan Buntu Kalando dijadikan Museum Tempat meyimpan benda-benda prasejarah dan peninggalan kerajaan Sangalla'.
Pallawa
Tongkonan Pallawa adalah salah satu tongkonan atau rumah adat yang sangat menarik dan berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah adat. Terletak sekitar 12 km ke arah utara dari Rantepao.
Londa
Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Salah satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dimana peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Terletak sekitar 5 km ke arah selatan dari Rantepao.
Kete Kesu
Obyek yang mempesona di desa ini berupa Tongkonan, lumbung padi dan bangunan megalith di sekitarnya. Sekitar 100 meter di belakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau-tau dalam bangunan batu yang diberi pagar. Tau-tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari-hari. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya dan sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja souvenir. Terletak sekitar 4 km dari tenggara Rantepao.
Batu Tumonga
Di kawasan ini anda dapat menemukan sekitar 56 batu menhir dalam satu lingkaran dengan 4 pohon di bagian tengah. Kebanyakan batu menhir memiliki ketinggian sekitar 2–3 meter. Dari tempat ini anda dapat melihat keindahan Rantepao dan lembah sekitarnya. Terletak di daerah Sesean dengan ketinggian 1300 meter dari permukaan laut.
Lemo
Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman Lemo kita dapat melihat mayat yanng disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan melalui upacara Ma' Nene
sumber artikel : wikipedia
Logo Kabupaten Enrekang
Logo Kabupaten Enrekang
Kabupaten Enrekang adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Enrekang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.786,01 km² dan berpenduduk sebanyak ± 190.579 jiwa.

Ditinjau dari segi sosial budaya, masyarakat Kabupaten Enrekang memiliki kekhasan tersendiri. Hal tersebut disebabkan karena kebudayaan Enrekang (Massenrempulu') berada di antara kebudayaan Bugis, Mandar dan Tana Toraja. Bahasa daerah yang digunakan di Kabupaten Enrekang secara garis besar terbagi atas 3 bahasa dari 3 rumpun etnik yang berbeda di Massenrempulu', yaitu bahasa Duri, Enrekang dan Maiwa. Bahasa Duri dituturkan oleh penduduk di Kecamatan Alla', Baraka, Malua, Buntu Batu, Masalle, Baroko, Curio dan sebagian penduduk di Kecamatan Anggeraja. Bahasa Enrekang dituturkan oleh penduduk di Kecamatan Enrekang, Cendana dan sebagian penduduk di Kecamatan Anggeraja. Bahasa Maiwa dituturkan oleh penduduk di Kecamatan Maiwa dan Kecamatan Bungin. Melihat dari kondisi sosial budaya tersebut, maka beberapa masyarakat menganggap perlu adanya penggantian nama Kabupaten Enrekang menjadi Kabupaten Massenrempulu', sehingga terjadi keterwakilan dari sisi sosial budaya.

Sejak abad XIV, daerah ini disebut MASSENREMPULU' yang artinya meminggir gunung atau menyusur gunung, sedangkan sebutan Enrekang dari ENDEG yang artinya NAIK DARI atau PANJAT dan dari sinilah asal mulanya sebutan ENDEKAN. Masih ada arti versi lain yang dalam pengertian umum sampai saat ini bahkan dalam Adminsitrasi Pemerintahan telah dikenal dengan nama “ENREKANG” versi Bugis sehingga jika dikatakan bahwa Daerah Kabupaten Enrekang adalah daerah pegunungan sudah mendekati kepastian, sebab jelas bahwa Kabupaten Enrekang terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit sambung-menyambung mengambil ± 85% dari seluruh luas wilayah sekitar 1.786.01 Km².

Menurut sejarah, pada mulanya Kabupaten Enrekang merupakan suatu kerajaan besar yang bernama MALEPONG BULAN, kemudian kerajaan ini bersifat MANURUNG dengan sebuah federasi yang menggabungkan 7 kawasan/kerajaan yang lebih dikenal dengan federasi ”PITUE MASSENREMPULU”, yaitu:

    Kerajaan Endekan yang dipimpin oleh Arung/Puang Endekan
    Kerajaan Kassa yang dipimpin oleh Arung Kassa'
    Kerajaan Batulappa' yang dipimpin oleh Arung Batulappa'
    Kerajaan Tallu Batu Papan (Duri) yang merupakan gabungan dari Buntu Batu, Malua, Alla'. Buntu Batu dipimpin oleh Arung/Puang Buntu Batu, Malua oleh Arung/Puang Malua, Alla' oleh Arung Alla'
    Kerajaan Maiwa yang dipimpin oleh Arung Maiwa
    Kerajaan Letta' yang dipimpin oleh Arung Letta'
    Kerajaan Baringin (Baringeng) yang dipimpin oleh Arung Baringin

Pitu (7) Massenrempulu' ini terjadi kira-kira dalam abad ke XIV M. Tetapi sekitar pada abad ke XVII M, Pitu (7) Massenrempulu' berubah nama menjadi Lima Massenrempulu' karena Kerajaan Baringin dan Kerajaan Letta' tidak bergabung lagi ke dalam federasi Massenrempulu'.

Akibat dari politik Devide et Impera, Pemerintah Belanda lalu memecah daerah ini dengan adanya Surat Keputusan dari Pemerintah Kerajaan Belanda (Korte Verkaling), dimana Kerajaan Kassa dan kerajaan Batu Lappa' dimasukkan ke Sawitto. Ini terjadi sekitar 1905 sehingga untuk tetap pada keadaan Lima Massenrempulu' tersebut, maka kerajaan-kerajaan yang ada didalamnya yang dipecah.

Beberapa bentuk pemerintahan di wilayah Massenrempulu' pada masa itu, yakni:

    Kerajaan-kerajaan di Massenrempulu' pada Zaman penjajahan Belanda secara administrasi Belanda berubah menjadi Landshcap. Tiap Landschap dipimpin oleh seorang Arung (Zelftbesteur) dan dibantu oleh Sulewatang dan Pabbicara /Arung Lili, tetapi kebijaksanaan tetap ditangan Belanda sebagai Kontroleur. Federasi Lima Massenrempulu' kemudian menjadi: Buntu Batu, Malua, Alla'(Tallu Batu Papan/Duri), Enrekang (Endekan) dan Maiwa. Pada tahun 1912 sampai dengan 1941 berubah lagi menjadi Onder Afdeling Enrekang yang dikepalai oleh seorang Kontroleur (Tuan Petoro).
    Pada zaman pendudukan Jepang (1941–1945), Onder Afdeling Enrekang berubah nama menjadi Kanrikan. Pemerintahan dikepalai oleh seorang Bunkem Kanrikan.
    Dalam zaman NICA (NIT, 1946–27 Desember 1949), kawasan Massenrempulu' kembali menjadi Onder Afdeling Enrekang.
    Kemudian sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai 1960, Kawasan Massenrempulu' berubah menjadi Kewedanaan Enrekang dengan pucuk pimpinan pemerintahan disebut Kepala Pemerintahan Negeri Enrekang (KPN Enrekang) yang meliputi 5 (lima) SWAPRAJA, yakni:

    SWAPRAJA ENREKANG
    SWAPRAJA ALLA
    SWAPRAJA BUNTU BATU
    SWAPRAJA MALUA
    SWAPRAJA MAIWA

Yang menjadi catatan atau lembaran sejarah yang tak dapat dilupakan bahwa dalam perjuangan atau pembentukan Kewadanaan Enrekang (5 SWAPRAJA) menjadi DASWATI II / DAERAH SWANTARA TINGKAT II ENREKANG atau KABUPATEN MASSENREMPULU'. (Perlu ingat bahwa yang disetujui kelak dengan nama Kabupaten Dati II Enrekang mungkin karena latar belakang historisnya).[rujukan?]

Adapun pernyataan resolusi tesebut antara lain:

    Pernyataan Partai/Ormas Massenrempulu' di Enrekang pada tanggal 27 Agustus 1956.
    Resolusi Panitia Penuntut Kabupaten Massenrempulu di Makassar pada tanggal 18 Nopember 1956 yang diketuai oleh almarhum Drs. H.M. RISA
    Resolusi HIKMA di Parepare pada tanggal 29 Nopember 1956
   Resolusi Raja-raja (ARUM PARPOL/ORMAS MASSENREMPULU') di Kalosi pada tanggal 14 Desember 1956
sumber artikel :wikipedia
Logo Kabupaten Gowa
Logo Kabupaten Gowa
Kabupaten Gowa adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Sungguminasa. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.883,32 km² dan berpenduduk sebanyak ± 500.000 jiwa.

Dalam khasanah sejarah nasional, nama Gowa sudah tidak asing lagi. Mulai abad ke-15, Kerajaan Gowa merupakan kerajaan maritim yang besar pengaruhnya di perairan Nusantara. Bahkan dari kerajaan ini juga muncul nama pahlawan nasional yang bergelar Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI yang berani melawan VOC Belanda pada tahun-tahun awal kolonialisasinya di Indonesia. Kerajaan Gowa memang akhirnya takluk kepada Belanda lewat Perjanjian Bungaya. Namun meskipun sebagai kerajaan, Gowa tidak lagi berjaya, kerajaan ini mampu memberi warisan terbesarnya, yaitu Pelabuhan Makassar. Pelabuhan yang kemudian berkembang menjadi Kota Makassar ini dapat disebut anak kandungnya, sedangkan Kerajaan Gowa sendiri merupakan cikal bakal Kabupaten Gowa sekarang.

Kota Makassar lebih dikenal khalayak dibandingkan dengan Kabupaten Gowa. Padahal kenyataannya sampai sekarang Kabupaten Gowa ibaratnya masih menjadi ibu bagi kota ini. Kabupaten yang hanya berjarak tempuh sekitar 10 menit dari Kota Makassar ini memasok sebagian besar kebutuhan dasar kehidupan kota. Mulai dari bahan material untuk pembangunan fisik, bahan pangan, terutama sayur-mayur, sampai aliran air bersih dari Waduk Bili-bili.

Kemampuan Kabupaten Gowa menyuplai kebutuhan bagi daerah sekitarnya dikarenakan keadaan alamnya. Kabupaten seluas 1.883,32 kilometer persegi ini memiliki enam gunung, dimana yang tertinggi adalah Gunung Bawakaraeng. Daerah ini juga dilalui Sungai Jenebarang yang di daerah pertemuannya dengan Sungai Jenelata dibangun Waduk Bili-bili. Keuntungan alam ini menjadikan tanah Gowa kaya akan bahan galian, di samping tanahnya subur.
sumber Artikel : wikipedia

Tuesday, October 22, 2013

Logo Politeknik Negeri Makassar


Politeknik Negeri Ujung Pandang, dulu bernama Politeknik UNHAS yang berdiri sejak tahun 1987 merupakan Perguruan Tinggi Negeri sebagai salah satu dari 26 Politeknik Negeri di Indonesia.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor : 128/O/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Politeknik Negeri Ujung Pandang, sehingga Politeknik mandiri dan berpisah dari Universitas Hasanuddin dan berganti nama menjadi Politeknik Negeri Ujung Pandang.

Mulai tahun akademik 1996/1997, Politeknik Negeri Ujung Pandang menyelenggarakan dua Program Kelas, yaitu :
1. Program Kelas Reguler
2. Program Kelas Non Reguler (Ekstensi)
3. Program Kelas Pola Kemitraan (dibuka sejak tahun akademik 2005/2006)
Kemudian untuk tahun Akademik 2008/2009, Politeknik Negeri Ujung Pandang mengadakan perubahan dalam penyelenggaraan Program Pendidikan yaitu :
1. Program Kelas Reguler Pagi
2. Program Kelas Reguler Sore

TUJUAN PENDIDIKAN
Politeknik merupakan lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan terapan dalam sejumlah bidang program studi. Pendidikan terapan yang dimaksud bersifat profesional yang berorientasi pada kebutuhan industri.
Program Pendidikan Politeknik sebagai pendidikan profesional bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan profesional dalam menerapkan, mengembangkan, dan menyebarluaskan teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Politeknik diselenggarakan dengan tujuan utama untuk mendukung pengembangan industri baru dan memperbaiki mutu industri yang sudah ada. Program pendidikan profesional ini akan menghasilkan tenaga Ahli Madya (A. Md.) yang benar-benar terampil.

SISTEM PENDIDIKAN
Pendidikan di Politeknik menerapkan sistem SKS yang disajikan dalam bentuk paket yaitu sistem belajar mengajar yang mewajibkan mahasiswa menempuh seluruh mata kuliah yang diprogramkan pada setiap periode tahun ajaran.
Program pendidikan Politeknik diselenggarakan dengan proporsi rata-rata antara 60% - 70% SKS teori dan 30% - 40% SKS praktek studio, bengkel, laboratorium, atau kegiatan lapangan. Persentase perkuliahan seperti ini memungkinkan lulusan Politeknik menjadi tenaga AhIi Madya di industri.

JENJANG PENDIDIKAN
Jenjang pendidikan di Politeknik merupakan jalur profesional dengan berbagai tingkatan diploma yang dapat berkembang setara dengan strata di jalur akademik. Saat ini, program pendidikan Politeknik pada umumnya mengelola jenjang Diploma Tiga (D3) Untuk membuka kesempatan karir bagi peserta didik, program pendidikan profesional ini akan dikembangkan menjadi jenjang Diploma Empat (D4) yang lulusannya mendapat sebutan Sarjana Sains Terapan (SST), yang setara dengan Strata 1 (S1) Plus dan mulai Tahun ajaran 2006/2007 ini di buka Program D4 Akuntansi Manajerial.

MATA KULIAH
Sesuai perkembangan teknologi & kebutuhan industri atau stakeholders, Politeknik saat ini telah melakukan revisi kurikulum yang berbasis kompetensi berdasarkan Kepmen Nomor : 232/U/2000, sehingga mata kuliah terbagi dalam lima kelompok, yaitu :
Mata KuIiah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang terdiri atas mata kuliah yang relevan dengan tujuan pengayaan wawasan, pendalaman intensitas pemahaman dan penghayatan landasan kepribadian.
Mata KuIiah Keilmuan dan Keterampilan (MKK) yang terdiri atas mata kuliah yang relevan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan kompetensi keilmuan atas dasar keunggulan kompetitif serta komparatif penyelenggaraan program studi yang bersangkutan.
Mata KuIiah Keahlian Berkarya (MKB) yang terdiri atas mata kuliah yang relevan, bertujuan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan kompetensi keahlian dalam berkarya di masyarakat sesuai dengan keunggulan kompetitif serta komparatif penyelenggaraan program studi bersangkutan.
Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB) yang terdiri atas mata kuliah yang relevan, bertujuan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan perilaku berkarya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di masyarakat untuk setiap program studi.
Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) yang terdiri atas mata kuliah yang relevan dengan upaya pemahaman serta penguasaan ketentuan yang berlaku dalam berkehidupan di masyarakat, baik secara nasional maupun global, yang membatasi tindak kekaryaan seseorang sesuai dengan kompetensi keahliannya.

JURUSAN DAN PROGRAM STUDI
Bidang pendidikan di Politeknik Negeri Ujung Pandang dibagi menjadi 2 kelompok bidang studi, yaitu :
A. Kelompok Bidang Studi Rekayasa (Engineering)
B. Kelompok Bidang Studi Tata Niaga (Commerce)
Kelompok Bidang Studi Rekayasa akan menghasilkan lulusan yang profesional dalam bidang teknik, sedangkan Kelompok Bidang Studi Tata Niaga akan menghasilkan lulusan yang profesional dalam bidang keuangan dan administrasi bisnis.
dikutip dari : http://www.poliupg.ac.id
Logo Kota Pare Pare
Logo Kota Parepare
Kota Parepare adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 99,33 km² dan berpenduduk sebanyak ±140.000 jiwa. Salah satu tokoh terkenal yang lahir di kota ini adalah B. J. Habibie, presiden ke-3 Indonesia.

Di awal perkembangannya, dataran tinggi yang sekarang ini disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring sebagai tempat yang pada keseluruhannya tumbuh secara liar tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.

Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.

Kata Parepare ditenggarai sebagian orang berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “(Pelabuhan di kawasan ini) di buat dengan baik”. Parepare ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.

Kata Parepare punya arti tersendiri dalam bahasa Bugis, kata Parepare bermakna " Kain Penghias " yg digunakan diacara semisal pernikahan, hal ini dapat kita lihat dalam buku sastra lontara La Galigo yang disusun oleh Arung Pancana Toa Naskah NBG 188 yang terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya 2851, kata Parepare terdapat dibeberapa tempat diantaranya pada jilid 2 hal [62] baris no. 30 yang berbunyi " pura makkenna linro langkana PAREPARE" (KAIN PENGHIAS depan istana sudah dipasang).

Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.

Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda) dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.

Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.

Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942. Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.

Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedangkan Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.

Didasarkan pada tanggal pelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.
Sumber Artikel : Wikipedia
Logo Kabupaten Sidrap
Logo Kabupaten Sidenreng Rappang
Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat dengan nama Sidrap) adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta'at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong-menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen.

Berdasarkan Lontara’ Mula Ri Timpakenna Tana’e Ri Sidenreng halaman 147, dikisahkan tentang seorang raja bernama Sangalla. Ia adalah seorang raja di Tana Toraja. Konon Memiliki sembilan orang anak yaitu La Maddarammeng, La Wewanriru, La Togellipu, La Pasampoi, La Pakolongi, La Pababbari, La Panaungi, La Mampasessu, dan La Mappatunru. Sebagai saudara sulung, La Maddaremmeng selalu menekan dan mengintimidasi kedelapan adik-adiknya, bahkan daerah kerajaan adik-adiknya ia rampas semua. Karena semua adiknya tidak tahan lagi dengan perlakuan kakaknya, mereka pun sepakat meninggalkan Tana Toraja. Karena perjalanan yang melelahkan, mereka kehausan lalu mencari jalan ke tepi genangan air di pinggir danau. Namun, danau itu ternyata berada di hutan yang lebat, sehingga sulit bagi mereka untuk mencapainya. Karena harus menembus semak belukar yang lebat, mereka pun Sirenreng-renreng (saling berpegangan tangan).Sesampainya di sana, mereka minum sepuas-puasnya dan duduk beristirahat kemudian mandi. Setelah itu, mereka berdiskusi bertukar pikiran tentang nasib yang merka jalani. Akhirnya, mereka sepakat untuk bermukim di tempat itu. Di sanalah mereka memulai kehidupan baru untuk bertani, berkebun, menangkap ikan, dan beternak. Semakin hari, pengikut-pengikutnya pun semakin banyak. Tempat itulah yang kemudian dikenal“Sidenreng“, yang berasal dari kata Sirenreng-renreng mencari jalan ke tepi danau, dan danau itulah yang sekarang dikenal dengan danau Sidenreng. Dari situ, terbentuk kerajaan Sidenreng.

Menurut sejarah, Sidenreng Rappang awalnya terdiri dari dua kerajaan, masing-masing Kerajan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Kedua kerajaan ini sangat akrab. Begitu akrabnya, sehingga sulit ditemukan batas pemisah. Bahkan dalam urusan pergantian kursi kerajaan, keduanya dapat saling mengisi. Seringkali pemangku adat Sidenreng justru mengisi kursi kerajaan dengan memilih dari komunitas orang Rappang. Begitu pula sebaliknya, bila kursi kerajan Rappang kosong, mereka dapat memilih dari kerajaan Sidenreng .Itu pula sebabnya, sulit untuk mencari garis pembeda dari dua kerajaan tersebut. Dialek bahasanya sama, bentuk fisiknya tidak beda, bahasa sehari-harinya juga mirip. Kalaupun ada perbedaan yang menonjol, hanya dari posisi geografisnya saja. Wilayah Rappang menempati posisi sebelah Utara, sedangkan kerajaan Sidenreng berada di bagian Selatan.

Kedua kerajaan tersebut masing-masing memiliki sistem pemerintahan sendiri. Di kerajaan Sidenreng kepala pemerintahannya bergelar Addatuang. Pada pemerintahan Addatuang, keputusan berasal dari tiga sumber yaitu, raja, pemangku adat dan rakyat. Sedangkan di Kerajaan Rappang rajanya bergelar Arung Rappang dan menyandarkan sendi pemerintahanya pada aspirasi rakyat. Demokrasi sudah terlaksana pada setiap pengambilan kebijakan. Demokrasi bagi kerajaan Rappang adalah sesuatu yang sangat penting, salah satu bentuk demokrasinya adalah penolakan diskriminasi gender. Perbedaan gender tidak menjadi masalah, khususnya bagi kaum wanita untuk meniti karir sebagaimana layaknya kaum pria. Buktinya, adalah emansipasi wanita sudah ditunjukkan dengan seorang perempuan yang menjadi rajanya, yaitu Raja Dangku, raja kesembilan yang terkenal cerdas, jujur, dan pemberani. Wanita yang kemudian dikenal sukses menjalankan roda pemerintahan di zamannya.

Pada saat pengakuan kedaulatan republik Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949, berakhirlah dinasti Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Ketika bumi Indonesia kemudian melepaskan diri dari belenggu penjajah, ketika pekik kemerdekaan menggema di seantero nusantara, kerajaan Sidenreng lebih awal menunjukkan watak nasionalismenya dengan bersedia melepaskan sistem kerajaan mereka. Padahal sistem itu sudah berlangsung lama, sampai 21 kali pergantian pemimpin. Mereka memilih berubah dan menyatu dengan pola ketatanegaraan Indonesia. Kerajaan akhirnya melebur menjadi kabupaten Sidenreng Rappang, dengan bupati pertamanya H. Andi Sapada Mapangile dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan Sidenreng Rappang dilakukan pemilihan umum untuk memilih bupati secara langsung pada tanggal 29 Oktober 2008 lalu.

Di daerah ini pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang adalah semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama 'Nenek Mallomo'. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng, yaitu: Naiya Ade'e De'nakkeambo, de'to nakkeana, artinya: Sesungguhnya adat itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak. Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo' ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo' yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara' La Toa, Nenek Mallomo' disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo' dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara' ahli mengenai buku Lontara') dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu'mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.Saat ini SIDRAP dipimpin oleh bupati termuda di Indonesia H. Rusdi Masse.

Artikel dikutip dari Wikipedia

Monday, October 21, 2013

Logo Kabupaten Jeneponto
Logo Kabupaten Jeneponto
Kabupaten Jeneponto atau yang biasa di sebut Butta Turatea merupakan salah satu dari 24 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Paling tidak saat tulisan ini dibuat yaa jumlahnya seperti itu, berhubung adanya beberapa wacana pemekaran wilayah di Sul-Sel yang ingin membuat Kabupaten baru bahkan ingin memisahkan diri dari Sul-Sel untuk membentuk Provinsi baru. kita kembali membahas letak Kab. Jeneponto yaitu terletak di ujung selatan bagian barat dari wilayah Provinsi Sul-Sel dengan ibukota Bontosunggu, Jika anda melakukan perjalanan darat dari Makassar atau Ujung Pandang maka akan membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk sampai di Kota Bontosunggu dangan jarak sekitar 95 km.

Pada awalnya  Kabupaten Jeneponto hanya terdiri atas 5 Kecamatan hingga kemudian dimekarkan menjadi 11 Kecamatan hingga saat ini yaitu Kecamatan Binamu, Turatea, Batang, Tarowang, Kelara, Arung keke, Rumbia, Bontoramba, Tamalatea, Bangkala, dan Kecamatan Bangkala Barat. Yang mana Kab. Jeneponto berbatasan langsung dengan Bantaeng di sebelah timur, Kab. Gowa di sebelah utara, dan Kab. Takalar di sebelah barat.

Sumber Artikel :Wikipedia
Logo Kabupaten Maros
Logo Kabupaten Maros
Kabupaten Maros adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Maros. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.619,12 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 250.000 jiwa.
Logo Kabupaten Luwu Timur
Logo Kabupaten Luwu Timur
Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Malili adalah ibu kota dari Kabupaten Luwu Timur yang terletak di ujung utara Teluk Bone. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2. Kabupaten ini terdiri atas 11 Kecamatan yakni Kecamatan Malili, kecamatan Angkona, Tomoni, Tomoni Timur, Kalena, Towuti, Nuha, Wasponda, Wotu, Burau dan Mangkutana. Di kabupaten ini terletak Sorowako, tambang nikel yang dikelola oleh INCO, sebuah perusahaan Kanada yang kini berubah nama menjadi PT Vale . Pada tahun 2008, Pendapatan Asli Daerahnya berjumlah Rp. 38,190 miliar. Pendapatan per kapita masyarakat Luwu Timur pada tahun 2005 adalah Rp. 24,274 juta.

Sumber Artikel : Wikipedia
Logo Kota Palopo
Logo Kota Palopo
Kota Palopo adalah sebuah kota di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif sejak 1986 dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu yang kemudian berubah menjadi kota pada tahun 2002 sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002.

Pada awal berdirinya sebagai Kota Otonom, Palopo terdiri dari 4 Kecamatan dan 20 Kelurahan, Kemudian Pada tanggal 28 April 2005, berdasarkan Perda Kota Palopo Nomor 03 Tahun 2005, dilaksanakan pemekaran Wilayah Kecamatan dan Kelurahan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.

Kota ini memiliki luas wilayah 155,19 km² dan berpenduduk sebanyak 120.748 jiwa.

Kota Palopo ini dulunya bernama Ware yang dikenal dalam Epik La Galigo. Nama "Palopo" ini diperkirakan mulai digunakan sejak tahun 1604, bersamaan dengan pembangunan masjid Jami' Tua. Kata "Palopo" ini diambil dari dua kata bahasa Bugis-Luwu. Artinya yang pertama adalah penganan ketan dan air gula merah dicampur. Arti yang kedua dari kata Palo'po adalah memasukkan pasak ke dalam tiang bangunan. Dua kata ini ada hubungannya dengan pembangunan dan penggunaan resmi masjid Jami' Tua yang dibangun pada tahun 1604.
Struktur lapisan dan jenis tanah serta batuan di Kota Palopo pada umumnya terdiri dari 3 jenis batuan beku. Batuan metamorf dan batuan vulkanik serta endapan alluvial yang hampir mendominasi seluruh wilayah Kota Palopo.

Penyebaran jenis batuan dan struktur lapisan tanahnya mempunyai kecenderungan batuan beku granit dan garbo serta beberapa intrusi batuan lainnya. Kemudian dijumpai pula batuan beku yang merupakan jejak aliran larva yang telah membeku yang bersusunan balastik hingga andesitik.

Batuan sedimen yang dijumpai meliputi batu gamping, batu pasir, untuk mendukung pembangunan dan bangunan di kawasan Kota Palopo. Ketersediaan tanah urugan, pasir serta batuan di wilayah Kota Palopo cukup tersedia yang terhampar di beberapa sungai Battang, sungai Latuppa dan sungai yang berbatasan dengan Kabupaten Luwu Kecamatan Lamasi atau Walenrang.
Logo Kabupaten Bantaeng
Logo Kabupaten Bantaeng
Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang dirinci berdasarkan Lahan Sawah mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan Kering mencapai 32.330 Ha. Secara administrasi Kabupaten Bantaeng terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah penduduk mencapai 170.057 jiwa. Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur sepanjang 21,5 kilometer yang cukup potensial untuk perkembangan perikanan dan rumput laut.
Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.

Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu. Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).

Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.

Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)

Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.

Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.

Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.

Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.

Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.

Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.

Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah).

Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).

Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.