Tuesday, November 19, 2013

Logo Kota Tomohon Provinsi Sulawesi Utara
logo Kota Tomohon
Kota Tomohon adalah salah satu kota di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Sebelum tahun 2003 merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Minahasa. Dalam perkembangannya, Tomohon mengalami banyak sekali kemajuan, sehingga ada aspirasi dari warganya untuk meningkatkan status Tomohon menjadi sebuah kota. Tomohon menjadi daerah otonom (kota) dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon di Provinsi Sulawesi Utara oleh DPR RI, namun peresmiannya baru pada tanggal 4 Agustus 2003.

Tomohon sejak dahulu telah dituliskan dalam beberapa catatan sejarah. Salah satunya terdapat dalam karya etnografis Pendeta N. Graafland yang ketika pada tanggal 14 Januari 1864 di atas kapal Queen Elisabeth, ia menuliskan tentang suatu negeri yang bernama Tomohon yang dikunjunginya pada sekitar tahun 1850. Menurut beberapa sumber, Tomohon asal kata (Tou mu'ung) dalam bahasa tombulu. Dikatakan bahwa Tomohon adalah salah satu daerah yang termasuk dalam etnis tombulu, ialah salah satu dari delapan etnis asli minahasa. Perkembangan peradaban dan dinamika penyelenggaraan pembangunan dan kemasyarakatan dari tahun ke tahun menjadikan Tomohon sebagai salah satu ibukota kecamatan di Kabupaten Minahasa.

Dekade awal tahun 2000-an masyarakat di beberapa bagian wilayah kabupaten Minahasa melahirkan inspirasi dan aspirasi kecenderungan lingkungan strategis baik internal maupun eksternal untuk melakukan pemekaran daerah. Berhembusnya angin reformasi dan diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah, semakin mempercepat proses akomodasi aspirasi masyarakat untuk pemekaran daerah dimaksud. Melalui proses yang panjang secara yuridis dan pertimbangan yang matang dalam rangka akselerasi pembangunan bangsa bagi kesejahteraan masyarakat secara luas, maka Pemerintah Kabupaten Minahasa beserta Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Minahasa merekomendasikan aspirasi masyarakat untuk pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan, Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa Utara; yang didukung oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon ditetapkan Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2003 dan pembentukan Kabupaten Minahasa Utara melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2003.

Terbentuknya lembaga legislatif Kota Tomohon hasil Pemilihan Umum Tahun 2004, menghasilkan Peraturan Daerah Kota Tomohon Nomor 22 Tahun 2005 tentang Lambang Daerah dan Peraturan Daerah Kota Tomohon Nomor 29 Tahun 2005 tentang Hari Jadi Kota Tomohon.

Kota Tomohon diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno atas nama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 4 Agustus 2003.
dikutip dari Wikipedia

Friday, November 1, 2013

Logo Kota Bitung Sulawesi Utara
Logo Kota Bitung
Kota Bitung adalah salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara. Kota ini memiliki perkembangan yang cepat karena terdapat pelabuhan laut yang mendorong percepatan pembangunan. Kota Bitung terletak di timur laut Tanah Minahasa. Wilayah Kota Bitung terdiri dari wilayah daratan yang berada di kaki gunung Duasudara dan sebuah pulau yang bernama Lembeh. Banyak penduduk Kota Bitung yang berasal dari suku Sangir, sehingga kebudayaan yang ada di Bitung tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di wilayah Nusa Utara tersebut. Kota Bitung merupakan kota industri, khususnya industri perikanan.
Menurut cerita sejarah, nama Bitung diambil dari nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di daerah utara Jazirah Pulau Sulawesi. Penduduk yang pertama yang memberikan nama Bitung adalah Dotu Hermanus Sompotan yang dalam bahasa daerah disebut dengan Tundu'an atau pemimpin. Dotu Hermanus Sompotan tidak sendirian tetapi pada saat itu dia datang bersama dengan Dotu Rotti, Dotu Wullur, Dotu Ganda, Dotu Katuuk, Dotu Lengkong. Pengertian kata Dotu adalah orang yang dituakan atau juga bisa disebut sebagai gelar kepemimpinan pada saat itu, sama seperti penggunaan kata Datuk bagi orang-orang yang ada di Sumatera. Mereka semua dikenal dengan sebutan 6 Dotu Tumani Bitung, mereka membuka serta menggarap daerah tersebut agar menjadi daerah yang layak untuk ditempati, mereka semua berasal dari Suku Minahasa, etnis Tonsea.

Daerah pantai yang baru ini ternyata banyak menarik minat orang untuk datang dan tinggal menetap sehingga lama kelamaan penduduk Bitung mulai bertambah. Sebelum menjadi kota, Bitung hanyalah sebuah desa yang dipimpin oleh Arklaus Sompotan sebagai Hukum Tua (Lurah) pertama desa Bitung dan memimpin selama kurang lebih 25 tahun, yang pada saat itu Desa Bitung adalah termasuk dalam Kecamatan Kauditan.

Dari Sekitar tahun 1940-an, para pengusaha perikanan yang mengusahakan Laut Sulawesi tertarik dengan keberadaan Bitung dibandingkan Kema (di wilayah Kabupaten Minahasa Utara sekarang) yang dulunya merupakan pelabuhan perdagangan, karena menurut pandangan mereka Bitung lebih strategis dan bisa dijadikan pelabuhan pengganti Kema.

Seiring dengan perkembangan Bitung sebagai suatu kawasan yang strategis serta jumlah penduduk yang semakin bertambah dengan pesatnya maka Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1975 tanggal 10 April 1975 Bitung diresmikan sebagai Kota Administratif pertama di Indonesia.
Sejarah Bitung Versi Dotu Tunggal Nicodemus Sompotan

Sejarah Kota Bitung berasal dari nama Pohon Witung yang banyak terdapat di pesisir pantai di Bitung,Timani Bitung (timani adalah : dalam hal ini sebagai penjaga kebun/tanah yang dimiliki oleh pemerintah belanda pada saat itu, yang sekarang telah menjadi kebun/tanah milik pemerintah Indonesia) yaitu Nicodemus Sompotan dan istrinya Sabina Lontoh.Inilah yang disebut Dotu Tunggal Tumani Bitung ini terjadi di tahun 1800an.Nicodemus Sompotan mempunyai enam orang anak yaitu : 1. Elias Lontoh Sompotan 2. Betsi Betti Sompotan 3. Luisa Sompotan 4. Marthin Sompotan 5. Getroida Frida Sompotan 6. Esau Ningka Sompotan Pada tahun 1921 anak pertama Nicodemus Sompotan menjadi Hukum Tua pertama desa Bitung yaitu Elias Lontoh Sompotan,dari Elias Lontoh Sompotan muncul Emor Sompotan dan dari Emor muncul John Ivan Sompotan ( Bung John ).Kediaman dari Elias Lontoh Sompotan itulah taman Bangsa Saat ini.

Berkembangnya Bitung sampai dengan hari ini,pastinya tidak terlepas dari peran awal dari keluarga kami yang dipercayakan oleh Belanda untuk menjaga tanah/kebun milik pemerintah Belanda, dimana dalam perjalanan waktu tanah/kebun tersebut telah dikembalikan ke pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan tahun 1945.

Dengan berkembangnya kota Bitung ternyata banyak sekali kejadian-kejadian yang diluar dugaan kami, ternyata begitu banyak persoalan tanah dikota Bitung yang sebenarnya tidak perlu terjadi, jika semua mengetahui bahwa tanah/kebun yang ada dibitung bukan milik para dotu tetapi murni milik pemerintah, dotu sebagaimana disebut sebut sebenarnya hanya untuk berugas meregristrasi penduduk, mencatat hasil kebun milik pemerintah Belanda.Demikian dituturkan oleh Enggelin Sabina Sompotan anak dari Esau Ningka Sompotan.

Artikel : Wikipedia
Logo Kota Kotamobagu
Logo Kota Kotamobagu
Kota Kotamobagu adalah sebuah kota di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kota ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007. Jumlah penduduknya sebanyak 97.993 jiwa.
Kota Kotamobagu merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow yang bertujuan untuk memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan, dan memobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat totabuan. Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan.
Lokasi Sulawesi Utara Kota Kotamobagu.svg
Penduduk asli wilayah Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat, yang awalnya tinggal di gunung Komasaan (Bintauna). Pada abad ke 8-9, mereka menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu in Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain.

Daerah pedalaman sering disebut dengan ‘rata Mongondow’. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan Raja Tadohe, maka daerah ini dinamakan Bolaang Mongondow. Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan : memiliki kemampuan fisik (kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan musuh. Mokodoludut adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh bogani. Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak Tompunu’on pertama sampai ketujuh, keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu’on, akibat pengaruh pedagang Belanda diubah istilah Tompunu’on menjadi Datu (Raja). Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokoagow (ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’ melalui pembangunan di segala bidang, sedangkan kepala desa dipilih oleh rakyat.

Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya masing-masing, dan dibentuk sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang, Mongondow (Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow. Di masa ini mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan. Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut memengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Sekitar tahun 1867 seluruh penduduk Bolaang Mongondow sudah menjadi satu dalam bahasa, adat dan kebiasaan yang sama (menurut N.P Wilken dan J.A.Schwarz). Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius Veenhuizen bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk Bolaang Mongondow melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo dengan kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja) di Kotobangon pada tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow dan berjumlah 41.417 jiwa.

Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W. Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa; yakni : desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi, Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa. Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun.

Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915. Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara konvensional.

Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga macam cara kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yaitu : Pogogutat (potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara pelaksanaaannya agak berbeda. Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan. Dalam mencari rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat diartikan sebagai tempat mencari nafkah. Bila ada tamu yang bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari kebiasaan ini diciptakan tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat terutama pejabat di jemput dengan upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini tetap lestari di bumi Totabuan. Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam diantaranya tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian kreasi baru seperti Tari Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari Kikoyog dan Tari Mokosambe. Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya). Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah 1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di desa Kembang Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang (1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan Pusian/Serasi 1992/1993). lengkapnya lihat hal. 90. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian wilayah Propinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow dipisahkan menjadi daerah otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23 Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT Kabupaten Bolaang Mongondow.
dikutip dari Wikipedia

Thursday, October 24, 2013

Logo Kota Bitung Sulawesi Utara
Logo Kota Bitung
Kota Bitung adalah salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara. Kota ini memiliki perkembangan yang cepat karena terdapat pelabuhan laut yang mendorong percepatan pembangunan. Kota Bitung terletak di timur laut Tanah Minahasa. Wilayah Kota Bitung terdiri dari wilayah daratan yang berada di kaki gunung Duasudara dan sebuah pulau yang bernama Lembeh. Banyak penduduk Kota Bitung yang berasal dari suku Sangir, sehingga kebudayaan yang ada di Bitung tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di wilayah Nusa Utara tersebut. Kota Bitung merupakan kota industri, khususnya industri perikanan.
Menurut cerita sejarah, nama Bitung diambil dari nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di daerah utara Jazirah Pulau Sulawesi. Penduduk yang pertama yang memberikan nama Bitung adalah Dotu Hermanus Sompotan yang dalam bahasa daerah disebut dengan Tundu'an atau pemimpin. Dotu Hermanus Sompotan tidak sendirian tetapi pada saat itu dia datang bersama dengan Dotu Rotti, Dotu Wullur, Dotu Ganda, Dotu Katuuk, Dotu Lengkong. Pengertian kata Dotu adalah orang yang dituakan atau juga bisa disebut sebagai gelar kepemimpinan pada saat itu, sama seperti penggunaan kata Datuk bagi orang-orang yang ada di Sumatera. Mereka semua dikenal dengan sebutan 6 Dotu Tumani Bitung, mereka membuka serta menggarap daerah tersebut agar menjadi daerah yang layak untuk ditempati, mereka semua berasal dari Suku Minahasa, etnis Tonsea.

Tuesday, October 22, 2013

Logo Kota Pare Pare
Logo Kota Parepare
Kota Parepare adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 99,33 km² dan berpenduduk sebanyak ±140.000 jiwa. Salah satu tokoh terkenal yang lahir di kota ini adalah B. J. Habibie, presiden ke-3 Indonesia.

Di awal perkembangannya, dataran tinggi yang sekarang ini disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring sebagai tempat yang pada keseluruhannya tumbuh secara liar tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.

Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.

Kata Parepare ditenggarai sebagian orang berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “(Pelabuhan di kawasan ini) di buat dengan baik”. Parepare ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.

Kata Parepare punya arti tersendiri dalam bahasa Bugis, kata Parepare bermakna " Kain Penghias " yg digunakan diacara semisal pernikahan, hal ini dapat kita lihat dalam buku sastra lontara La Galigo yang disusun oleh Arung Pancana Toa Naskah NBG 188 yang terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya 2851, kata Parepare terdapat dibeberapa tempat diantaranya pada jilid 2 hal [62] baris no. 30 yang berbunyi " pura makkenna linro langkana PAREPARE" (KAIN PENGHIAS depan istana sudah dipasang).

Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.

Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda) dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.

Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.

Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942. Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.

Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedangkan Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.

Didasarkan pada tanggal pelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.
Sumber Artikel : Wikipedia

Monday, October 21, 2013

Logo Kota Palu
Logo Kota Palu
Palu adalah sebuah kota sekaligus merupakan ibu kota provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Palu terletak sekitar 1.650 km di sebelah timur laut Jakarta. Koordinatnya adalah 0°54′ LS 119°50′ BT. Penduduknya berjumlah 342.754 jiwa (2012).

Bersama dengan Poso, Palu telah beberapa kali menjadi target dalam konflik yang sedang berlangsung di Sulawesi. Pada November 2005, sepasang warga beragama Kristen ditembak dan dicederai di kota ini. Sebuah bom juga meledak di sebuah pasar yang khusus menjual daging babi pada 31 Desember 2005 dan menewaskan delapan orang serta mencederai 45 lainnya.

Sunday, October 20, 2013

Logo Kota Makassar
Logo Kota Makassar
Arti makna Lambang Kota Makassar :

1. Perisai putih sebagai dasar melambangkan kesucian

2. Perahu yang kelima layarnya sedang terkembang melambangkan bahwa Kota Makassar sejak dahulu kala adalah salah satu pusat pelayaran di Indonesia

3. Buah padi dan kelapa melambangkan kemakmuran

4. Benteng yang terbayang di belakang perisai melambangkan kejayaan Kota Makassar

5. Warna Merah Putih dan Jingga sepanjang tepi perisai melambangkan kesatuan dan kebesaran Bangsa Indonesia

6. Tulisan “Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut Ke Pantai”, menunjukan semangat kepribadian yang pantang mundur.

Sejarah Kota Makassar

Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil tainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu.


Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.

Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan¬-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.

Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG

MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9
  
Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.

Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan perdagangan internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu me¬nyebabkan sebuah "creative renaissance" yang menjadikan Bandar Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langkah di Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang dipesan secara khusus

dari Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memper-luas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.

Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.

Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673
  
ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan 'kota baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan 'Vlaardingen'. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang, seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.

Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang tertupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland - bentuknya pun bukan 'bentuk kota', tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.

Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada kapal¬kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.

Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan, sejak pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.

Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional.

Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.

Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha

dikutip dari : http://bahasa.makassarkota.go.id