Thursday, January 3, 2019

Monday, March 19, 2018

Sunday, February 19, 2017

Sunday, December 4, 2016

Wednesday, November 9, 2016

Logo Sinjai Car Free Day

Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Car Free Day bertujuan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat untuk menurunkan ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan bermotor. Kegiatan ini biasanya didorong oleh aktivis yang bergerak dalam bidang lingkungan dan transportasi.
Tema penting dalam hari bebas kendaraan bermotor, adalah tinggalkan kendaraan bermotor di rumah dan berjalan kakilah atau gunakan kendaraan tidak bermotor atau pun menggunakan kendaraan umum untuk perjalanan panjang.

Thursday, February 4, 2016

Saturday, January 24, 2015

Wednesday, January 21, 2015

Logo dan Tema Hari Jadi Sinjai Ke - 451 Versi Bang Roel

LOGO FINAL HARI JADI SINJAI 451



PRA DESIGN


PRA DESIGN








Tema Hari Jadi Sinjai 2015








SEJARAH TERBENTUKNYA KABUPATEN SINJAI


KABUPATEN SINJAI dahulu terdiri dari beberapa kerajaan-kerajaan, seperti kerajaan-kerajaan yangtergabung dalamfederasi TELLU LIMPOE dan kerajaan-kerajaan yangtergabung dalam PITU LIMPOE. TELLU LIMPOE terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berada dekat pesisir pantai yaitu Kerajaan Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti, sedangakn PITU LIMPOE adalah kerajaan-kerajaan yang berada di dtaran tinggi yaitu Kerajaan Turungeng, Manimpahoi, Terasa,Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.
Dalam lontara susunan raja-raja yang ada di Sinjai pada masa lampau, bahwa yang pertama menjadi Raja dan Arung ialah Manurung Tanralili, yang kemudian dikenal dengan gelar TIMPAE TANA atau TO PASAJA. Keturunan Puatta Timpae Tana atau To PASAJA merupakan cikal bakal dan pendiri Kerajaan Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti. Adapun kerajaan yang pertama berkembang di wilayah PITU LIMPOE adalah KerajaanTurungeng, Rajanya adalah seorang wanita yang diperistrikan oleh Putra Raja Tallo.
Salah seorang wanita kawin dengan seorang putra Raja Bone, dari perkawinan itu lahirlah tujuh orang anak, yaitu seorang anak wanita dan enam orang laki-laki. Anak yang wanita kemudian menggantikan ibunya memerintah di Turungeng, sementara yang lain ada di Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.
Bila ditelusuri hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai dimasa lalu, maka nampaklah dengan jelas bahwa ia terjalin dengan erat oleh tali kekeluargaan yang dalam bahasa bugis disebut SIJAI artinya sama jahitannya. Hal ini lebih diperjelas dengan adanya gagasan dari LAMASSIAJENG Raja Lamatti X untuk memperkokoh bersatunya antara kerajaan Bulo-bulo dengan Lamatti dengan ungkapannya PASIJAI SINGKURENNA LAMATTI BULO-BULO artinya satukan keyakinan Lamatti dengan Bulo-bulo, sehingga setelah meninggal dunia beliau diberi  gelar PUATTA MATINROE RISIJAINA.
Eksistensi dan identitas kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai di masa lalu semakin jelas dengan didirikannya benteng pada tahun 1557. Benteng ini dikenal dengan nama BENTENG BALANGNIPA sebab didirikan di Balangnipa, yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Sinjai.

Disamping itu, benteng inipun dikenal dengan nama BENTENG TELLU LIMPOE, karena didirikan secara bersama-sama oleh 3(tiga) kerajaan, yakni Lamatti, Bulo-bulo dan Tondong, lalu dipugar oleh Belanda.

Tahun 1564 adalah tahun yang amat bersejarah bagi daerah Sinjai yang diwakili oleh kerajaan Bulo-bulo yang mendapat banyak kunjungan dari dua kerajaan besar yang sedang berperang dan berebut pengaruh.hal ini disebabkan karena letak daerah Sinjai yang berada pada daerah lintas batas dan sangat strategis bagi kedua kerajaan yakni Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.

Mengingat bahwa kedua kerajaan yang sedang berperang tersebut mempunyai hubungan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan Sinjai, maka TELLLU LIMPOE dan PITU LIMPOE berupaya untuk tidak memihak atau terlibat dalam perang tersebut, bahkan dengan penuh kecerdikan dan kearifan, raja-raja di Sinjai berusaha mempertemukan pimpinan kerajaan tersebut agar berunding dan berdamai.

Akhirnya pada bulan Februari 1564, RAJA BULO-BULO VI LA MAPPASOKO LAO MANOE TANRUNNA berhasil mempertemukan antara Kerajaan Gowa yang diwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMMETA dengan LA TENRI RAWE BONGKANGNGE dari Kerajaan Bone, disaksikan oleh raja-rajalain, sehingga lahirlah perjanjian perdamaian yang kemudian dikenal dengan PERJANJIAN TOPEKKONG atau LAMUNG PATUE RITOPEKKONG.

Disebut LAMUNG PATUE RITOPEKKONG karena perundingan ini dilaksanakan dengan upacara penanaman batu besar, bagian batu yang dikuburkan dalamdalam dimaksudkan sebagai simbol dikuburkannya sikap-sikap keras yang merugikan semua pihak, sedang bagian batu yang timbul sebagai simbol persatuan yang tidak mudah bergeser.

Isi PERJANJIAN TOPEKKONG adalah
1. Madumme to sipalalo
    Mabelle to Siparoso
    Seddi Pabbanua pada rappunnai Lempa asefa mappanessa
2. Musunna Gowa musunna to Bone na Tellulimpoe
    Makkutopi assibalirenna
3. Sisappareng deceng teng sisappareng ja’
    Sirui menre teng sirui no’
    Malilu sipakainge mali siparappe

Artinya adalah :
1. Saling mengisinkan dalam mencari tempat bernaung
    Saling memberi kesempatan dalam mencari ikan
    Satu rakyat milik kita semua
    Kemanalah padinya dibawa itulah yang menentukan
    (Kerajaan mana yang dipilihnya)
2. Musuh Kerajaan Gowa juga musuh Kerajaan Bone dan Tellulimpoe
    Demikian pula sebaliknya
3. Saling memberikan kebaikan bukan kejahatan
    Saling bantu membantu tidak saling mencelakakan
    Yang lupa diri diingatkan, yang hanyut diselamatkan.
Tahun 1636 orang Belanda mulai datang ke daerah Sinjai. Kerajaan-kerajaan di Sinjai menentang keras upaya Belanda untuk mengadu domba dan memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Hal ini mencapai puncaknya dengan terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Belanda yang mencoba membujuk Kerajaan Bulo-bulo untuk melakukan perang terhadapkerajaan Gowa. Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat tanggal 29 Pebruari 1639 bertepatan dengan tanggal 22 Ramadhan 1066 Hijriah, karena rakyat Sinjai tetap
berpegang teguh pada perjanjian Topekkong.
Tahun 1824 Gubernur Jendral Hindia Belanda Van der Capellen datang dari Batavia membujuk I Cella Arung Bulo-bulo XXI agar menerima perjanjian Bongaya dan mengijinkan Belanda mendirikan Loji atau Kantor dagang di Lappa tetapi ditolak dengan tegas. Belanda menyerang Sinjai di bawah pimpinan Jendral Van Green dan Kolonel Biischaff. Pasukan Sinjai di bawah pimpinan Andi Mandasini dan Baso Kalaka berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Tahun 1859 Belanda dengan pimpinan Jendral Van Swiaten kembali mengadakan serangan besar-besaran ke Sinjai, baik melalui laut maupun darat. Oleh karena kekuatan yang tidak seimbang maka akhirnya Sinjai direbut oleh Belanda. Tanggal 15 November 1861 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi dan Daerah, taklunya wilayah Tellu Limpoe Sinjai dijadikan satu wilayah pemerintahan dengan sebutan GOSTER DISTRICTEN.
Tanggal 24 Pebruari 1940, Gubernur Grote Gost menetapkan pembagian administratif untuk daerah timur termasuk Residensi Celebes, dimana Sinjai bersamasama beberapa kabupaten lainnya berstatus sebagai Onther Afdeling Sinjai terdiri dari beberapa Adats Gemenchap, yaitu cost Bulo-bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Bulo-bulo, Manipi dan Turungeng.
Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan dan namanya ditata sesuai kebutuhan bala tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng. Dalam kancah perjuang kemerdekaan menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945, para rakyat Kabupaten Sinjai membentuk berbagai organisasi perlawanan seperti Sumber Darah Rakyat atau SUDARA, Kris Muda dan lain-lain. Pentai-pantai yang ada di Sinjai menjadi transit bagi para pejuang kemerdekaan yang akan ke Jawa dan sebaliknya.

Tanggal 20 Oktober 1959 Sinjai Sinjai resmi menjadi Kabupaten berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1959. dan tanggal 27 Pebruari 1960 Abdul Latif dilantik menjadi Kepala Daerah Tingkat II Sinjai yang pertama.

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG
JANGAN SEKALI KALI MEMASANG LOGO INI TANPA SEIZIN BANG ROEL : 08114444450


Tuesday, November 25, 2014

Logo Al Markaz Al Islamy Darul Istiqamah Sinjai


Logo PNG

logo JPEG


SINJAI, 1917. Belanda masih kuat menancapkan kukunya di Indonesia. Sinjai, sebuah kota di Sulawesi Selatan yang jarak tempuhnya sekira 200 KM (empat jam) dari kota Makassar pun tak luput dari cengkeraman itu. Suasana keagamaan telah bergeliat ramai, terutama sejak Raja Tallo (yang juga menjabat Mangkubumi Kerajaan Gowa I Mallingkan Daeng Manyonri, bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) mengikrarkan dirinya menjadi seorang muslim pada Kamis 22 September 1605.


Kabupaten Sinjai secara historis terdiri dari beberapa kerajaan yang tergabung dalam federasi Tellu Limpoe dan Pitu Limpoe. Tellu Limpoe terdiri dari kerajaan-kerajaan yang terletak di pesisir pantai, yaitu kerajaan Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti. Sedangkan Pitu Limpoe terdiri dari kerajaan Turungen, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka yang berada di dataran tinggi.

Dalam urusan agama, pada 1917 itu, Belanda memberikan wewenang penuh kepada para ulama yang bergelar Qadhi. Secara struktural, lembaga ini berada di bawah pemerintahan. Lazimnya daerah jajahan, selama tidak melawan pemerintah dan bekerja sesuau dengan kewenangannya, maka lembaga ini tetap ‘aman’ eksistensinya. Qadhi juga dikenal sebagai panrita’, yang secara stratifikasi sosial memiliki kharisma yang tinggi di masyarakat. Di Kabupaten Sinjai yang saat itu terbagi dua (Sinjai Timur dan Lamatti), ada dua Qadhi. Kyai Hasan menjadi Qadhi di Timur, sedangkan Kyai Thahir di Lamatti atau tepatnya di Balangnipa. 

***

Bagi mereka yang pernah di Sulawesi Selatan, atau pejuang syariat, akan mengenal namanya Kyai Ahmad Marzuki Hasan. Kyai Marzuki adalah salah seorang ulama yang dikenal sebagai pribadi yang kuat, tegas, pejuang, dan da’i.

Komitmennya untuk terus mengamalkan Islam begitu luar biasa. Ia menghafal Al Qur’an. Bahkan dalam perjalanan dari satu kota ke kota lainnya pernah ia menamatkan muraja’ah Al Qur’an-nya. Jadi, 30 juz selesai ia ulangi saat dalam perjalanan. Umumnya kita dalam perjalanan tidak sampai berpikir untuk itu, karena mungkin tidak hafal Al Qur’an (kalaupun kita baca Al Qur’an, jarang yang membaca dan menamatkannya dalam satu kali perjalanan).

Kyai Marzuki meyakini bahwa salat malam adalah bekal terbaik bagi seorang muslim. Saat siang kita bekerja, di waktu malam kita butuh tambahan semangat keimanan dengan salat malam.

Dalam salah satu bukunya, ia menulis:

“Bisa jadi kita lemah semangat (di waktu melaksanakan tugas), sehingga kita diperlengkai dengan salat malam agar bisa mendatangkan kekuatan jiwa. Salat malam mengandung kekuatan untuk jiwa kita untuk melaksanakan tugas, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-larangan Al Qur’an.”

Keyakinannya pada salat malam, ia yakini dari firman Allah. Keyakinan inilah yang membuatnya yakin bahwa ketika Allah memerintahkan sesuatu, pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Kita manusia adakalanya setengah-setengah dalam menjalankan perintah, padahal perintah Allah itu semua benar. Terkait dengan salat malam itu, Allah swt., berfirman dalam surat Al Isra’ ayat 79:

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

“Dan bertahajudlah pada sebagian malam sebagai tambahan bagimu (Muhammad). Mudah-mudahan Tuhanmu memberikan kedudukan yang terpuji kepadamu.”

Dengan salat malam ini, sesungguhnya kita tengah berjuang untuk menguatkan iman dan tidak takut pada selain Allah. Saat ini ada yang takut pada atasannya, takut dipecat, atau takut dipindah dari bagian satu ke bagian lainnya. Ada juga yang takut tidak dapat rezeki. Padahal, semua rezeki itu sudah diatur oleh Allah. Tugas manusia adalah berusaha menjemput rezeki itu. Kalau memang rezeki kita, cepat atau lambat akan tiba juga di tangan. Tentu saja bisa sampai karena usaha yang giat.

“Tidak ada alasan bagi seseorang untuk merasa takut terhadap segala sesuatu. Takut berhadapan dengan kekayaan, pangkat yang tinggi, ilmu pengetahuan yang luar biasa, ataupun senjata serba canggih. Kita hanya boleh takut kepada Allah swt, karena tidak ada Tuhan melainkan Dia. Tidak ada yang berkuasa kecuali Allah swt.” Demikian tulis Kyai Marzuki Hasan.

Kyai Marzuki dilahirkan pada 31 Januari 1917 di kota Sinjai, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Kyai Hasan, seorang Qadhi di Sinjai Timur, sedangkan ibunya Syarifah Aminah. Marzuki pernah belajar di Pesantren As’adiyah Sengkang Wajo, kemudian melanjutkan ke Perguruan Datumuseng di kota Makassar. Selain itu ia pernah mengaji kitab pada Prof Darwis Zakaria (guru di Perguruan Datumuseng asal Sumatera Barat) di kota yang sama. Zakaria menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an dengan pendekatan yang modern. Dari Prof Darwis, Kyai Marzuki mempelajari kitab Fathul Qadirkarangan Imam Asy-Syaukani, seorang ulama, imam, mufti dan syaikhul Islam yang ilmunya,“…seperti lautan dan pemahamannya seperti matahari.” (Fathul Qadir, jilid 1, hal: 4).

Setelah belajar dari Prof Darwis, Kyai Marzuki kembali ke kampung halamannya di Sinjai. Di sana, ia mulai mengajar dan menggiatkan dakwah. Menurut beliau, dua aktivitas itu sangatlah mulia: mengajar dan berdakwah. Kecintaannya pada dua aktivitas itu terlihat dari ucapannya, “…saya ingin sekali mati saat mengajar atau berdakwah.” Dalam jejak hidupnya, tak hanya dua hal itu yang dilakukannya, beliau juga pernah berkebun, membuat perahu, berlayar, membuka toko (berdagang) hasil bumi. Beberapa pekerjaan itu dilakukannya. Ia tidak malu, bahkan tidak putus asa ketika aktivitasnya belum membuahkan hasil. Di sebuah perusahaan Jepang, karena ia amanah akhirnya pernah dipercayai untuk menangani di bidang perbukuan.

***

Suasana Konferensi Meja Bundar (KMB)

Pada momentum penyerahan kedaulatan Indonesia 1949 dari Kerajaan Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB), di berbagai tempat banyak yang bergembira. Kedaulatan berarti Indonesia sudah diakui sebagai negara yang sah dan berdaulat setelah merdeka pada 1945. Perjuangan untuk mendapatkan kedaulatan ini tentu saja penuh dengan berbagai usaha, seperti yang dilakukan Haji Agus Salim dalam pertemuannya dengan Imam Hasan Al Banna, pemimpin Al Ikhwan Al Muslimun di Mesir untuk membantu pengakuan Mesir atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Muhammad Zein Hassan, Lc. Lt, dengan lengkap mengulas hal ini dalam bukunya Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (Penerbit Bulan Bintang: 1980)

Di Sinjai, perayaan itu juga tak ketinggalan. Maka diadakanlah pasar malam. Namun yang disayangkan dalam pasar malam itu, adalah adanya perjudian. Sebagai aktivis Masyumi dan Wakil Ketua Muhammadiyah Sinjai, Kyai Marzuki tidak setuju dengan model perayaan seperti itu. Ia berpatokan pada hadis Nabi:

“Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Bersama beberapa koleganya, Kyai Marzuki memberikan resolusi kepada pemerintah. Resolusi itu diperlihatkan pada beberapa qadhi di Sinjai, termasuk kepada kakaknya, Abdullah Hasan. Resolusi itu dikirimkan juga ke Badan Tinggi Negara Indonesia Timur (NIT), akan tetapi tidak ditanggapi secara serius. Bahkan, ada kesan pemerintah menyetujui pasar malam dengan adanya perjudian itu yang menurut Kyai Marzuki, tidak sesuai dengan kaidah Islam dan tidak produktif. 

Karena merasa kepentingannya terganggu, maka kelompok yang merasa terganggu itu menuduh Kyai Marzuki dan beberapa kawannya sebagai pengikut gerombolan. Selain itu, tentara juga marah dengan kejadian tersebut. “Tentara sekarang sudah marah sekali. Ustad tidak bisa menerima unsur pengampunan,” demikian kata seseorang, seperti dituturkan Kyai Marzuki dalam wawancara dengan cucunya, Ustad Mudzakkir Arif. Akhirnya, Kyai Marzuki menghadap ketua Masyumi Sulsel yang juga menjabat Wakil Walikota Makassar untuk meminta masukan dan pertimbangan. Maka, Ustad Marzuki diminta untuk berhijrah segera ke Jakarta.

Mohammad Natsir

Di Jakarta, Kyai Marzuki bertemu dengan Ketua Masyumi Mohammad Natsir di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, Kyai Marzuki diminta oleh Pak Natsir untuk tetap tinggal di Jakarta dan dipercaya sebagai kasir bagian keuangan salah satu pelayaran nusantara kurang lebih satu tahun. Pak Natsir adalah salah seorang tokoh muslim Indonesia, yang pernah menjadi Perdana Menteri dan dikenal luas di dalam dan luar negeri.

***

Di tahun 1953-an ketika Kahar Muzakkar ingin mendirikan Darul Islam, Kyai Marzuki dipanggil oleh Kahar. Diajak bergabung. Setelah berpamitan dengan Mohammad Natsir, Kyai Marzuki pada akhirnya kembali ke Makassar dan berjuang masuk hutan. Ia dijemput di daerah Tanete (antara Sinjai dan Bulukumba). Waktu yang ditempuh dari Tanete itu ke Pusat Pemerintahan di Palopo sekira 5 hari. Bayangkan 5 hari berjalan di hutan?

Sebelumnya, Kyai Marzuki enggan untuk berjuang di hutan jika bukan islam yang diperjuangkan. “Jika bukan memperjuangkan Islam, saya tidak akan masuk hutan,” begitu kurang lebih kata beliau kepada Pak Kahar. Akhirnya, ide itu diterima oleh Kahar Muzakkar dan perjuangannya berlandaskan pada Islam. Di hutan saat itu bukan hanya orang Islam, tapi juga Kristen dan penganut komunis.  

Di dalam hutan, kurang lebih 15 tahun Kyai Marzuki bersama Kahar Muzakkar. Mereka bertahan hidup dengan memakan apa yang ada di hutan. Kyai Marzuki menjadi rujukan bagi banyak masalah keagamaan di hutan Sulawesi Selatan dan Tenggara itu. Di dalam hutan, ia tetap menghafal Al Qur’an, dan mendirikan salat malam (qiyamullail). Kyai Marzuki dikenal lembut ucapannya namun tegas dalam perjuangannya sehingga dalam perjuangan itu ia pernah diamanahi sebagai Menteri Penerangan, Menteri Dalam Negeri dan Dewan Fatwa. Saking pentingnya Kyai Marzuki, sehingga suatu waktu, Kahar Muzakkar sebagai pemimpin tertinggi mengatakan, “Perjuangan ini, saya fisiknya dan Ustad Marzuki ruhnya.” Ia kerap disebut dengan panggilan ustad dan kyai secara bergantian.

Tentang Kahar Muzakkar, Kyai Marzuki memberikan pandangannya sebagai berikut:

“….Beliau memang tidak pernah terlalu berambisi mengumpulkan harta, walaupun sudah berapa kali ditawarkan dana dengan jumlah yang luar biasa banyaknya agar mau kembali ke masyarakat atau kembali menjadi pejabat pemerintah dengan kedudukan yang cukup tinggi. Ketika tawaran itu datang, dia bilang begini, ‘Saya tidak akan masuk hutan andaikata itu yang saya inginkan.’ Kita juga melihat rumahnya memang sederhana. Kesederhanaannya inilah yang menjadikan dia dicintai oleh pengikutnya.”

Dalam hal ibadah, menurut Kyai Marzuki, Pak Kahar juga memiliki perhatian tersendiri.

“Terkadang beliau sendiri yang azan di masjid. Tidak ada manusia yang pernah bertemu dengannya tidak tertarik. Asal ketemu sekali, orang itu akan merasa rindu. Kadang-kadang, walaupun ada pertemuan yang jaraknya puluhan kilometer, orang-orang rela ke sana untuk melihat wajahnya. Karena kepribadiannya yang begitu tinggu membuat orang yang ketemu sekali tidak merasa tidak jika tidak berulangkali ketemu, walaupun hanya sekedar melihat dan hadir di tempatnya. Itu semua keistimewaan yang beliau miliki.”

Dalam hubungan sosial, suatu waktu ada ibu-ibu yang mengatakan bahwa anaknya ikut berjuang. Pak Kahar bertanya, “Apakah anak ibu sering kembali menjenguk ibu kalau dia kemari?” Kata Kahar,“Salah itu (kalau orang) tahu perjuangan, tetapi berbakti kepada ibu tidak dihiraukan!”Perhatiannya terhadap bakti kepada ibu, menurut Kyai Marzuki, membuat ibu-ibu banyak yang sangat tertarik dengan Pak Kahar.

Di lain waktu, masih terkait kenangannya bersama Pak Kahar, Kyai Marzuki pernah memintakan izin seseorang yang sakit untuk pergi berobat. Pak Kahar memberikan amplop yang berisi uang berobat dan ongkos tanpa diminta. “Ilmu jiwanya itu luar biasa,” kata Kyai Marzuki. Bahkan, saat makan bersama ulama lainnya, Pak Kahar biasanya agak mundur sampai 2-3 meter dari lingkungan ulama-ulama dan hanya mengambil sesendok sayur. Kadang ia cuma mengambil ikan kering, padahal ada ayam yang dihidangkan.

Selama di hutan, Kyai Marzuki sempat membuat universitas. Bedanya dengan universitas saat ini, karena kondisinya masih berpindah-pindah, mereka belajar-mengajar pindah-pindah. Ketika wilayah mereka telah diketahui oleh pemerintah, mereka memindahkan kampusnya lagi. Ada proses belajar-mengajar yang intens di situ. Masalahnya memang pada lokasi yang berpindah-pindah. Namun, konsep universitas telah ada dijalankan. Kenapa bisa? Karena perjuangan Islam waktu itu memang membentuk negara, maka pembentukan universitas juga diperlukan sekali. Bahkan, beberapa orang dalam kabinet Kahar juga sempat disekolahkan ke luar negeri untuk belajar.

Perjuangan Kahar Muzakkar di hutan kerap disalahpahami sebagai pemberontakan. Di jaman Orde Baru, mereka yang tidak setuju dengan pemerintah pusat dianggap sebagai pemberontak. Walhasil, mereka-mereka yang berjuang untuk Indonesia juga (yang berbeda pandangan) dicap sebagai pemberontak. Perjuangan di hutan-hutan Sumatera misalnya, juga dianggap sebagai pemberontakan. Padahal, Syafrudin Prawiranegara punya andil besar dalam menyelamatkan negara saat Bung Karno dan Bung Hatta tidak bisa berbuat banyak karena penjajah. Perjuangan di hutan Kyai Marzuki dilakukannya untuk menegakkan Islam. Waktu itu, infiltrasi PKI begitu besar pada negara, dan Bung Karno begitu dekat pada PKI yang secara ideologis berbeda jauh dengan Islam. Tokoh-tokoh Masyumi, sebutlah Isa Anshari begitu gigih untuk menentang PKI di Indonesia.

Selama berjuang di hutan, Kyai Marzuki pernah bertugas sebagai Menteri Penerangan, Menteri Dalam Negeri, dan Dewan Fatwa. Sejak di hutan itu juga, ia telah aktif menuliskan pemikiran-pemikirannya hingga ketika berdakwah pasca revolusi DI/TII (setelah keluar dari hutan). Beberapa karya tulisnya yang sempat tercatat sebagai berikut:
  1. Pribadi Muslim
  2. Ikhtisar Fiqih Sunnah
  3. Man Huwal Mujahid?
  4. Tafsir Al Qur’anul Karim (Bahasa Arab)
  5. Miftahud Dakwah (Bahasa Arab, Ikhtisar dari kitab Miftahul Khithabah)
  6. Tuntunan Pelaksanaan Shalat (Bahasa Indonesia
  7. Tuntunan Akhlak (Bahasa Indonesia)
  8. Akhlakul Karimah (Bahasa Indonesia)
  9. Kedudukan Wanita dalam Islam (Bahasa Bugis)
  10. Pakaian Wanita dalam Pandangan Islam (Bahasa Bugis)
  11. Dasar-Dasar Dinul Islam
  12. Sejarah Islam (Bahasa Arab)
  13. Tuntunan Khutbah (Bahasa Bugis)
  14. Ulumul Qur’an
  15. Kitab Shiyam (Bahasa Bugis)
  16. Shalat Malam Sumber Kekuatan Jiwa: Tafsir Tematik QS. Al-Muzzammil (Bahasa Indonesia)
Setelah keluar dari hutan, tak berapa lama diadakan pertemuan para alim ulama se-Sulawesi Selatan dan Tenggara bersama Panglima Kodam XIV Hasanuddin Aziz Mukhtar. Dalam pertemuan itu, Pangdam mengharapkan agar para ulama mendirikan kembali pendidikan pesantren dengan sistem sebelum perang. Maksudnya adalah, pesantren yang berdiri sendiri dan berakar di masyarakat. Pesantren ini menjadi panutan, dan kader-kadernya tersebar di berbagai pelosok.

Gerbang depan Darul Istiqamah

Pada akhir 1968 dan awal 1969, Kyai Marzuki bergabung kembali dengan Muhammadiyah. Dengan banyaknya antusiasme dari para jama’ah pengajian, dan setelah pertemuan dengan Pangdam, akhirnya tercetuslah ide untuk mendirikan Pesantren Darul Istiqamah. Ketika para jama’ah begitu banyak, ide untuk mendirikan pesantren itu terekam dalam pemikirannya sebagai berikut:

“Betul kita sudah beramal, akan tetapi jika tidak ada kader di kemudian hari—karena jama’ah pengajian tidak bisa diharapkan menjadi kader—namun hanya berguna bagi pribadinya, maka perlu adanya pengajian dan pembinaan yang lebih baik lagi.”

Selain itu, muncul kekhawatiran jangan sampai setelah perjuangan menegakkan Islam di hutan selesai (begitu juga pasca karantina politik di Pare-Pare), para jama’ah terpengaruh dengan kehidupan kota. “Padahal di hutan,” kata beliau, “kita telah menjalankan syariat agama ini.”

Maka bersama dengan jama’ah di Masjid Nurul Hidayah Jalan Kapoposang (sekarang: Jalan Andalas), timbullah ide pendirian pesantren. Badan hukumnya pun dibentuk di rumah Haji Latanrang di Jalan Merpati. Pada 1970, yayasan ini berdiri dengan nama Yayasan Pendidikan Da’wah Islamiyah (YPDI) dan berkantr di Jalan Merpati Masjid Jenderal Sudirman, Makassar. Tak berapa lama, lokasi pendirian pesantren pun ditemukan, sekira 25 Km dari kota Makassar, yaitu di Maccopa, Kabupaten Maros.

Beberapa waktu lalu, Gubernur Sulawesi Selatan Dr Syahrul Yasin Limpo memberikan penghargaan bagi beberapa tokoh Islam yang telah membina dan mengembangkan syiar Islam. Termasuk dalam hal ini Kyai Ahmad Marzuki Hasan. Di Sulsel, Kyai Marzuki dikenal secara luas sebagai pejuang. Ia kerap berpesan, dan pesan terakhirnya sebelum nyawanya dipanggil (seperti diucapkan oleh anaknya, KH Muhammad Arif Marzuki) adalah, Jaga salat jamaahmu, dan rajin-rajinlah membaca Al Qur’an.”

Pentingnya sosok Kyai Marzuki bagi Islam di Sulawesi Selatan, setidaknya bisa kita lihat dari perkataan Gubernur Amin Syam sebagai berikut:

“Kalau kita ingin agar masyarakat kita ini masyarakat yang madani, masyarakat yang amanah, maka sudah seharusnya kita melaksanakan apa yang diajarkan oleh almarhum,” demikian sambutan dari Gubernur Sulawesi Selatan ketika itu, HM. Amin Syam sebelum jenazah dikuburkan.

Kyai Marzuki dikuburkan Pekuburan Syuhada, komplek pesantren yang didirikannya 30 tahun lalu; Pesantren Darul Istiqamah yang terletak Maccopa, Kabupaten Maros. Tak ada nama di nisannya. Namun, perjuangan, nasihat, buku-buku, serta ajaran dan dakwahnya (dalam mengamalkan Islam) senantiasa tertulis di kedalaman hati para murid, pelanjut, simpatisan pesantren, dan kaum muslimin, khususnya di Sulawesi Selatan. []

Sumber: Transkrip wawancara Ust Mudzakkir Arif dengan Kyai Ahmad Marzuki Hasan, beberapa buku dan laman, serta penelusuran dan wawancara dengan beberapa sumber. Tulisan ini juga bagian dari sebuah naskah buku saya tentang ‘Struggle for Life’ dan diambil dari draft naskah buku (belum terbit) yang sempat saya susun berjudul KH. Ahmad Marzuki Hasan (1917-2006); Ulama, Pejuang dan Pemimpin Umat. Tulisan ini diposting sebagai data awal bagi makalah yang hendak dibuat oleh Ust M Yusuf Shandy, sekaligus sebagai pengetahuan dan sharing buat/dari teman-teman lainnya.